Kamis, 14 November 2019

Kopi dan Perempuan Cenayang


Membaca kembali antologi puisi perempuan cenayang hasil pergualantan emosi , penemuan rasa dalam olahan imaji Marjorie S Amal, seperti menikmati secangkir kopi. Sekali teguk kita bisa menemukan sensasi rasa pahit sekaligus manis yang tercerap dalam renung yang tak biasa. Tak bermaksud membedah atau pun menelaah, sebab kedua hal tersebut membutuhkan sekian rujukan dan teori untuk mengupas segala sisi hingga menemukan sebuah esensi puisi.
Saya membacanya sambil menikmati secangkir kopi, melepaskan segala pisau teori agar tak terbebani segala “hegemoni konvensional para pakar” (barangkali memang saya yang awam dengan teori sastra). Membaca bebas antologi puisi perempuan cenayang (selanjutnya disingkat APPC) seperti merasakan menjadi perempuan yang penuh cinta ,sekaligus menggugat tempat yang telah dikontruksi dalam waktu tak terbatas.
Sekali lagi, saya membaca APPC dalam tafsir bebas, sebagaimana yang saya pahami, karya sastra yang sama, bila dibaca pada masa yang berbeda akan melahirkan presepsi yang berbeda. Secara utuh APPC membelah diri dalam empat tema: Perempuan, cinta, tempat dan waktu. Meskipun secara totalitas empat hal tersebut masih berada di bawah payung besar perempuan.
Pada lembaran pertama antologi ini, kita dibawa pada sosok perempuan bernama ibu”aku mencintai ibuku”hal.3, dengan segenap narasi dan metafora puisi ini selalu berusahan mengutuhkan antara perempuan dan cinta. Ketika perempuan adalah seorang anak, ketika perempuan adalah isteri, ketika perempuan adalah ibu ia tetaplah mahkluk yang dipenuhi cinta dengan segala warnanya. Kemudian ditutup dengan “suara tengah malam” yang berupaya memisahkan diri dari tema perempuan yakni berbicara soal waktu. Meskipun puisi terakhir dalam APPC berkutat tentang waktu tapi belum bisa lepas dari nuansa perempuan atau barangkali setiap penulis perempuan selalu punya warna” feminis” dalam setiap tulisannya. “suara tengah malam” sekalipun berbicara perihal yang dialami si aku lirik dalam rentang waktu kenang,tetap saja menyiratkan nada perempuan dalam bait-bait alur :

“suara tengah malam”
Ada suara di lantai bawah
Tapi tak kukenali suara itu
Seperti rintihan,tercekat
Menangisi yang hilang

Kususuri tangga hingga kebawah
tak ada sesiapa hanya kusiur angin
…..(hal 97)
Sebagaimana puisi, APPC penuh metafora sekaligus diksi yang tak biasa. Namun demikian dari 72 puisi yang yang terdapat pada APPC dipetakan dalam empat tema merupakan olah pikir, rasa dan imajinasi pada empat masa, yakni :
2016,(jangan sebut kami jalang gadis berambut api, sang perempuan, lelaki tanta tarung, untukmu anaku, analekta pagi, reuni hati, sepatu rajutmu yang pertama,pinanglah aku, aku tak suka bungga dan ranjangmu,memburu kenang,memesrai maut, menunggu, bila, di penghujung)
2017(perempuan cenayang, namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa),
2018(aku mencintai ibuku,rahasia, apa yang kau tahu tentangku, jerat, mungkin saja, kami yang menjadi asing, panas mimpi, melukismu dari balik jendela, perihal senyummu,petani kopra, pantai werdha, di atas kursi roda,biru, karma, seandainya,metamorphosis,Pigura,)
2019(usai, wanita di pekarangan bapak, karnaval negeri la la, di dapur, di bawah payung, tentang mimpi, api unngun, bulan usai, doa, suara tengah malam).
Dengan kesadaran sekaligus penasaran yang menggelitik saya berupaya memilah setiap puisi ke dalam empat masa, dengan harapan menemukan,memudahkan saya dalam memahami materi teks pada lembar-lembar APPC. Kemudian saya kembali disibukan dengan sekalimat singkat dalam nada Tanya: apa yang saya temukan? ketika mengurutkan, lebih tepatnya memilah puisi berdasarkan masa terciptanya sebuah karya sastra. Ya, untuk menjawab soal tersebut, nampaknya saya perlu secangkir kopi yang kental, pekat dan sedikit gula (intermeso…)
Perempuan cenayang “lahir” pada 2017 bersama dengan “namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa”.
Sekali lagi, saya hanya membaca kemudian merasakan dimensi ruang, waktu, suasana dalam perangkap metafora, diksi yang lebih kental, sesekali menemukan diri dalam idiom lokal yang disematkan dengan rapi jauh dari tempelan.
“perempuan cenayang ”

Aku datang padanya di senja beraroma magis
Perempuan berambut perak, bermata sekelam karang hitam
Kulit sepucat bola Kristal
Suarannya mengangkangi angin

Waktu pun menggantung saat pendulumnya bergerak
Kanan kiri,tik tak,antara pelipis dan pangkal alis berdenting, berderau
Magnet mataku hanyutkan sadarku
Hening, bening, cahaya kian tirus menepi
“aku tahu ada luka menganga pada jantungmu”
Perempuan itu membelah dadaku, menghitung luka dan bilur kecil
Yang bergerak naik turun antara dada dan perutku
Singgah ke ubun-ubun, otak dan kembali ke sarangnya hati
Manteranya mengalun berteriak mengalun beriak mencipta ombak
Bergemuruh meledakan rumah kaca
Pecah dan segenap mata angin
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit. (perempuan cenayang, hal.9)
Ada banyak hal yang menarik pada perempuan cenayang, selayaknya puisi yang menawan sudah tentu pada perempuan cenayang kental akan metafora dan diksi yang mengutuhkan pesan sebuah teks. Membaca perempuan cenayang, dalam waktu yang sama kita menemukan makna konotasi sekaligus denotasi dalam metafora yang konsisten. Sehingga gagasan dasar sebuah teks terangkai rapi dalam kemasan puisi bergaya naratif. Secara konotatif kita menemukan makna dalam baris-baris yang tak terpisahkan. Ketika perempuan cenayang dibaca secara utuh tanpa membelah baris dan bait memberi interpretasi tentang dua sosok perempuan yang dihadapkan pada konflik batin. Dua sosok perempuan dalam puisi di atas hanyalah medium,simbol, sekaligus petanda untuk menyampaikan pesan bagaimana dua perempuan saling mengenal, memahami tanpa batas. Atau sengaja memberi impresi bahwa hanya perempuanlah memahami dirinya. Tak hanya sebatas itu, secara tersirat perempuan cenayang memberi interpretasi kedalaman batin tentang aspek religi yang terbangaun pada setiap baris dan bait. Kedalaman religiositas yang dibangun mencakup aspek lain yakni pada fase tertentu tempat kemabalinya manusia adalah hatinya.
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit


Rabu, 10 April 2019

Aku ingin

Karya:Fitri romadhoni
Siswi smp Alkhairaat Ternate

Aku ingin seperti bulan, yang bisa melihat keindahan di tengah malam.
Aku ingin seperti Bintang, yang menjadi pelengkap di langit hitam.
Aku ingin seperti matahari, yang bisa melihat seluruh aktivitas bumi.
Aku ingin seperti pelangi, yang selalu di puji dan di kagumi.
Bermain, itulah yang ku lakukan.
Tertawa lepas ,itulah yang ku kenal.
Menjadi seorang pilot, itulah yang ku inginkan.
Mempunyai uang banyak, itulah yang ku bayangkan.
Dan bermalas-malasan ,itulah yang selalu saya kerjakan.
Aku hanya hidup dalam sebuah khayalan.
Aku tidak mau berusaha ,tetapi mau menginginkan segalanga.
Sulit untuk memiliki semuanya.
Tetapi kata BERUSAHA tidak ada di fikiran saya.
Tidur, itulah yang membuat saya merasa senang.
Dan bermimpi menjadi seorang pilot, itulah suatu kebahagiaan.
Bertahun-tahun ku hanya hidup dalam sebuah angan angan.
Hingga kini ku harus bangkit dari khayalan itu.
Berusaha keras itulah yang saya lakukan.
Menjadi seorang pilot, dan mempunyai uang banyak, bukan khayalan lagi bagi saya.

Minggu, 05 Agustus 2018

Puisi

DALAM ORASI

Aku sedang menanti pelajaran berikut
Tentang kemanusiaan dan kesederhanaan
Terkadang aku merasa tamak karena belum bisa memahami arti sederhana
Tapi , dalam pertemuan
Tak henti-henti berceloteh tentang:
Kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati,
Begitu hebat mereka berorasi
Tapi tak pernah menggunakan piring yang sama ketika makan
Tak pernah minum air bersama,
Dalam Orasi mereka peduli
Dalam orasi mereka kembali meneriakan :
kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati
Tapi,
Mari kita sedikit cermat
Tentang bahasa keramat
Rendah hati bukanlah ramah tamah palsu
Apalagi memisahkan hati dan kepala
berorasi tentang nyamannya tikar
Namun tetap tak berpindah dari kasur yang empuk

Wiwik. S

Puisi

TENTANG PAGI DAN SENJA SUATU HARI

Kau tahu rasanya pagi
Bukan sekedar teh manis atau secangkir kopi
Obrolan sepi barangkali misteri
Bukan perkara menebak isi hati
Juga rumitnya benak yang memelas dimengerti
Mari kita hindari perkara ingkar janji
Menyederhanakan kreasi juga apresiasi
Kita belajar saling mengerti
Bukan paling mengerti tuk runtuhkan harga diri
Kau tahu rasanya pagi
Suara burung bukanlah kupu-kupu warna-warni
Aku tak memetik mimpi tuk bangunkan tidurmu
Apalagi merajam senja tuk sorakan bahagia lalu
Akhirnya rasa itu jadi milikmu
Tentang rasa takut juga bahagia.
Barangkali kau ingin jadi pelagi
Melengkung bahagia dalam rintik dan tatap gerimis
Aku tak lebih dari sepasang mata yang menatap bahagia pada setiap lengkung kebaikanmu.
Kau tahu kekagumanku bukan sekedar warna warni pelangi.
Tapi juga awan di matamu
Yang memutih bahkan menghitam sekali pun
Terkadang aku masih ragu kau mengerti semua ini
Tapi untukmu sebuah puisi bukanlah perkara aksara
Ia bisa saja sebongkah awan putih yang menuju langit sanubari

Wiwik.S

Rabu, 01 Agustus 2018

Rumbata

Belajar merapikan Buku Sekaligus Meningkatkan Minat Baca.





Usai belajar dan selesai membaca, atau sekedar melihat-lihat buku di Rumbata (Rumah Baca Kalumata), buku tak lagi rapi seperti sediakala. Meski sudah seringkali dingatkan oleh para pendar, anak-anak tetaplah anak-anak yang harus ekstra sabar untuk menyadari setiap tingkah polah mereka.
Beberapa hal untuk membiasakan meletakan atau merapikan buku pada anak-anak usia rata-rata 4,6,7 hingga10 tahun,Rumbata berupaya menyampaikan pengetahuan tersebut melalui bermain peran dan lain-lain. Dengan bermain peran dan menganggap segala aktifitas adalah dunia bermain, setiap aktivitas terasa tampak menyenangkan. Meskipun butuh waktu yang lama untuk membiasakan disiplin, bertanggung jawab dan bekerja sama, namun kami yakin setiap pengetahuan yang ditanam sejak dini akan menjadi dasar bagi setiap anak untuk masa depan mereka.
Pada awalnya anak-anak dilatih untuk mengambil sebuah atau dua buah buku, setelah melihat isi buku beberapa menit kemudian diminta mengembalikan di tempat semula, sesuai dengan posisi awal. Tak menunggu waktu lama semua anak meletakan buku di tempat semula, namun beberapa anak belum meletakan secara tepat. Permainan tak berhenti sampai di situ. Sebab dari 12 anak hanya 3 yang mampu mengingat judul buku yang baru diambilnya.
Selanjutnya, anak-anak diminta mengambil buku lebih dari dua untuk melihat atau mengidentifikasi judul buku,nama penulis,dan penerbit.
Dengan kemasan bermain, membaca buku diharapkan menjadi aktivitas yang tidak hanya menarik bagi anak tetapi juga keharusan.
Untuk melatih sikap disiplin dan tangggung jawab, anak-anak akan diminta untuk merapikan ruang baca, bagi dua orang yang datang paling belakang.
Berhubung mereka saling berebut jadwal membaca doa belajar dan doa pulang meski telah dijadwalkan, maka anak yang datang paling awal mendapat perioritas membaca doa untuk menggatikan sang pembaca doa yang belum sempat hadir.
Selain kegiatan membaca, Rumbata mulai membiasakan anak-anak mengenal buku melalui judul, penulis, dan penerbit dan cara menemukannya dengan mudah. Beberapa anak yang mulai menikmati sesi ini akan akan mulai bertanya tentang: apa itu penerbit? Apa itu editor dan penyunting?
Dengan pertanyaan sederhana tersebut, anak-anak diajak mengenal buku dan membaca sejak dini.
Mengenalkan anak-anak tentang Penulis, judul, Penerbit, Penyunting/editor dll sangatlah penting, sehingga anak-anak dapat menghargai sebuah buku/karya dengan bekal pengetahuan dasar tersebut.
#membaca itu menyenangkan
#bahagia itu ketika utuh tak lagi satu dan terbelah tak berarti dua.
#evaluasi tahunan Rumbata

Selasa, 31 Juli 2018

Membaca Karya sastra

Membaca” Hujan di Tagalaya, karya Rajif Duchlun” Membaca Halmahera : Sebuah Tafsir Bebas
Oleh : Wiwik Sriwiningsih



Karya sastra lahir dari kegelisah penulis. Tidak terkecuali novel “ Hujan di Tagalaya” yang merupakan karya Rajif Duchlun. Karya sastra yang merupakan miniatur kehidupun sangat dipengaruhi sosiokultur penulisnya. Membaca “Hujan Di Tagalaya” yang selanjutnya di sebut HDT secara utuh, kita akan selalu menemukan pola dasar pada setiap penulisan novel dan cerpen. Yakni dalam menulis novel dan cerpen selalu berangkat dari plot atau karakter. Beberapa hal yang menarik dari HDT adalah bahasa yang mengalir, alur yang menarik sehingga seseorang tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dari sekian unsur instrinsik karya sastra, HDT secara dominan menonjolkan alur dan pesan sekaligus berusaha menonjolkan setting (latar sosial dan latar waktu)
Secara Ekstrinsik, Halmahera Barat digambarkan berdasarkan imaji penulisnya, membaca HDT , kita diajak menyelami berbagai persoalan kompleks Halbar 30 hingga 50 tahun silam, tentang cinta dan sengketa tanah dalam berbagai dalih dan tipu muslihat. HDT berupaya memberi pemahaman kepada kita bagaimana persoalan hidup bisa nampak sederhana atau sesuatu hal yang nampak rumit. Bahkan HDT, berupaya mengingatkan kita akan persoalan serupa yang menimpa seluruh Halmahera bahkan Indonesia.
Mengangkat latar sosial Halmahera Barat masih menjadi sesuatu yang ’’istimewa’’ dalam sebuah novel, karena jarang dilakukan. Sebuah novel yang merupakan bangunan dari unsur intrinsik dan ekstriksik memaksa kita melihat dari berbagi sisi. Secara bebas, HDT memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pembaca untuk menafsir pesan yang terdapat pada karya sastra. Dalam konteks amanat, HDT menarik untuk dikaji lebih mendalam, ketika menampilkan tokoh sentral yang kemudian mengarahkan pada pembaca untuk menemukan pesan tertentu, sekaligus penggunaan beberapa idiom lokal, sapaan para tokoh, turut mengentalkan latar sosial.
“APRIL, 1964. Halmahera, Tagalaya. Ini anak ketiga yang gagal menjadi besar...’’(hal 1)
“Dua buldoser membabat hutan. Pepohonan kelapa, cengkih dan pala ditebang rata tanah. Orang-orang hanya bisa menyaksikan pekerja-pekerja perusahan itu mengobok-obok lahan perkebunan mereka. Baba, Mamat, dan Odong dari kejauhan hanya bisa memperhatikan mereka dengan dada sesak...”(hal 49)
“gerobak sapi pulang-pergi melewati jalan bertanah. Senja itu pemuda-pemuda Tuada senang menghabiskan waktu di lapangan bola.... hanya ada beberapa lelaki di desa tetangga yang meminum tuak di batas kampung dan yang lainya memetik senar gitar..”(hal 51)
“itu biasa, bung. Fenomena masuknya perusahaanmemang tak jauh dari intrik dan fitnah. Bahkan di daerah lainantar keluarga saling membunuh hanya gara-gara beda pandangan tentang masuknya perusahaan. Ini memang kejahatan terstruktur. Investor adalah jejaring yang rapi...”(hal 68)

Beberapa kutipan di atas, memang belum menyiratkan sacara utuh pesan maupun latar sosial, namun secara sederhana,kepiwaian penulis, HDT mengingat kita akan persoalan serupa, yakni persoalan, pembangunan, tambanga, investor asing dan lain-lain. Pada banyak novel dan cerpen, amanat sebuah cerita biasanya dilekatkan pada tokoh sentral yang protagonis namun hal ini tidak terjadi pada HDT. Dalam penulisan karya sastra, Beberapa kemungkinan bisa terjadi, bagi yang “bernafsu” mengejar intrinsik bisa jadi mengabaikan ekstrensik. Kemudian ketika kita sedikit cermat, HDT berupaya keras mengejar tema,penokohan, dan setting dalam kemasan yang diutuhkan.

Membaca karya sastra adalah sebentuk Apresiasi.

Sabtu, 04 Maret 2017

Guruku Pemarah


cerpen :Wiwik Sriwiningsih

Aku tidak tahu, kenapa banyak teman yang menyukai ibu Mal, padahal ia seorang yang sangat keras. Contohnya pagi ini, ia benar-benar menerapkan sifat kerasnya. Aku dipaksa menulis satu lembar HVS. Jangankan satu lembar, satu paragraf saja aku kewalahan. Jari-jariku rasanya mau putus, kepalaku ingin meledak. Ia menjelaskan pelajaran hari ini tetang kalimat efektif. Ia terus menceramahi teman-temanku sambil menampilkan slide-slide yang telah ia rancang bertahun-tahun. Aku sudah sangat lelah, tapi ibu Mal terus menatapku. Seolah-olah jika aku tidak menyelesaikan tulisanku hari ini besok akan kiamat.
Tidak selesai, tidak bisa keluar main, ujar ibu Mal dengan mimik sok kuasanya.
Bisa saya lanjutkan besok bu, aku berusaha melakukan negosiasi.
Jika tidak sanggup, tulis saja nama orangtuamu dan nomor ponselnya, ibu akan menghubungi mereka untuk menyelesaikan tugasmu.
Aku menelan ludah. Aku benar-benar ingin marah, dan berlari keluar kelas. Aku paling tidak suka diancam seperti itu.
Ibu boleh memukul saya, dimana saja. Tapi saya tidak mau menulis sebanyak itu. Aku berusaha melakukan negosiasi lagi.
Aku seperti menyaksikan seekor Harimau melompat ke arahku. Membawa selembar kertas dan pena. Tulis nomor ponsel orang tua, bentak ibu Mal tak terkendali.
Entah kenapa, hari ini aku tidak merasa takut mengahadapi ibu Mal yang bersuara besar, aku hanya takut kepada kepala sekolah, ibu Muna dan pak Robin yang tak bernah melepaskan penggaris besi di tangannya. Salah satu kelemahan ibu Mal adalah ia tidak pernah bisa memukul muridnya dengan benda apa pun apalagi dengan tangannya. Aku benar-benar ingin meruntuhkan prinsip angkunya itu. Ia seorang pemarah pasti tidak bisa menahan diri untuk memukul muridnya pada kondisi seperti itu.
Baiklah bu, aku akan menyelesaikannya, sahutku menetralisir keadaan. Aku sengaja mengulur waktu ibu Mal agar tak perlu menelpon orang tuaku.
Ibu Mal tak pernah main-main dengan ancamannya. Dua hari lalu ibu Mal benar-benar mendatangi orang tua Syahdan yang rumahnya sangat jauh dari tempat tinggal ibu Mal, bagaimana jika ibu Mal benar-benar datang kerumahku. Bisa-bisa mama marah dan memukuliku, yang lebih parah lagi aku tidak akan mendapat uang jajan. Ibu Mal memang guru yang jahat. Aku tak suka padanya. Aku terus memikirkan cara agar membuat ibu Mal marah dan memukulku, jika ibu Mal sampai memukulku. Aku punya kesempatan untuk mengatakan di depan teman-teman bahwa ibu Mal adalah guru yang jahat, perkataannya tidak bisa dijadikan panutan. Semua siswa yang terlambat diberi hukuman menulis satu lembar bermejakan dinding atau duduk bersila di lantai tanpa pengalas. Semua orang mengumpulkan tulisannya kecuali aku dan Syahdan. Tapi, Syahdan sudah hampir selesai, sebenarnya teman-temanku yang enam orang juga tidak suka Bahasa Indonesia dan Ibu Mal, tapi mereka berusaha menyelesaikan tugas mereka. Saat Syadan siswa paling malas di kelasku mengumpulkan tulisanya, ibu Mal menatapku dengan kilatan meremehkan.
Tiba-tiba bel berbunyi, semua siswa keluar main kecuali aku. Teman-teman keluar dengan riang, pemandangan itu sangat menyiksaku, belum lagi mereka menjulurkan lidah mengejekku.
Jika ingin menyerah, berhentilah sekarang, kamu punya banyak pilihan?
Ibu, bisa ganti tema?
Tema apa maksudmu, waktumu tidak banyak.
Saya ingin menulis tentang ibu,
Ibu Mal sepertinya terkejut, tapi ia menyetujuinya
Menulis aktivitasmu saja tidak bisa, mau menulis tentang ibu. Terserah kamu saja
Aku tersenyum dan mulai menulis,
Untuk ibu Mal, ibu sudah bagus mengajarnya. Tapi ibu selalu memarahi siswa yang ribut, sebaiknya ibu tidak marah-marah. Karena kalau ibu marah-marah kami tidak bisa konsentrasi. Jika ibu marah, suara ibu sangat besar dan terpaksa kami harus mendengarnya. Tahukah ibu? Kami ingin ibu mengajar sambil tersenyum dan tidak bersuara keras, tapi ibu hanya tersenyum sebentar lalu marah lagi ketika para siswa bercerita saat belajar berlangsung. Saya hanya ingin ibu tidak marah-marah. Karena saya tidak suka kalau ibu marah-marah. Ibu juga suka mempermasalahkan hal sepele, seperti penulisan “yang kami singkat yg” ibu juga mempermasalahkan titik, koma dan lain-lain yang tak masuk akal. Menurutku ibu hanya mencari-cari kesalahan kami. Ibu tahu saya tidak suka menulis dan membaca puisi, tapi ibu tetap memberi hukuman menulis dan baca puisi jika ada siswa yang terlambat dan tidak buat PR. Ibu sungguh keterlaluan, ibu memberi PR sangat banyak. Kami lelah mencatat… sebaiknya ibu jangan memberi PR dan tugas yang terlalu banyak. Tahukah ibu, kami tidak hanya mengerjakan PR ibu, tapi juga pelajaran lain, jadi tolong jang berikan PR yang terlalu banyak. Dan tolong kalau mengajar ibu jangan marah-marah. Saya tidak suka kalau ibu marah-marah. Jika kami ribut atau terlambat ibu bisa memukul kami dan masalah selesai. Tapi ibu selalu cari Alasan bahwa ibu tidak memukul siswa, yang harus dipukul adalah kuda dan sapi, itu pun tidak boleh terlalu sering. Saya kira ibu hanya cari-cari alasan. Agar bisa memarahi kami setiap hari
Setelah sepuluh menit akhirnya aku menyelesaikan hukumanku. Ibu Mal tak percaya aku bisa menulis sepuluh menit satu lembar. Aku menyerahkan tulisanku dan ingin keluar main. Tapi ibu Mal segera memanggilku.
Baca! perintahnya.
Apa! Aku benar-benar terkejut. Aku malu dan takut membacanya. Tapi aku sudah lapar dan ingin jajan. Aku mulai membaca dengan pelan.
Ulang, ujar Ibu Mal yang berarti memintaku untuk membesarkan suaraku.
Emosiku tersulut oleh rasa lapar dan penindasan. Aku membaca dengan suara keras, lebih keras dari suara ibu Mal saat marah. Semua teman-teman berkumpul ke arahku seoalah aku sedang latihan akting teater. Setelah selesai membaca, aku menyerahkan kembali dengan rasa puas dan bahagia…
Sudah puas? terimaksih telah menjalani sanksi dengan baik, komentar ibu Mal sambil tersenyum
Aku tersenyum sambil menunduk. Tapi yang membuatku aneh adalah, seharusnya ia marah. Minimal berwajah asam. Aku sangat ingin melihat wajahnya asam karena tersinggung.Aku telah mengkritik habis-habisan. Aku mempermalukannya di depan murid-murid. Ibu Mal yang Malang, ujarku dalam hati.
Ibu Mal keluar kelas sambil tersenyum seolah ia telah memecahkan kode rahasia kutukan kotak Pandora. Namun masalah tak selesai sampai di situ, duplikat ibu Mal menghampiriku, Zahra si cerpenis kelas XB kesayangan ibu Mal.
Caramu mengkritik , menjelaskan karakter, tandus dan dangkal pemikiran sesorang, tegur Zahra menirukan gaya ibu Mal.


Biodata Penulis:
Wiwik Sriwiningsih, dilahirkan di Kao, Maluku Utara, 1984. Menulis Puisi, cerpen (antologi Mimpi Sebutir Pasir) dan novel (Biru Laut) perempuan yang akrab disapa Wiwik ini. Bergiat di Sanggar dan Komunitas Seni. Mengikuti Festival Nasional Teater Tradisional di Jakarta, sebagai Sutradara/ Penulis Naskah, 2014, workshop/bengkel Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA): penulisan Novel (2011), di Bogor dan Residensi Masyarakat Indonesia Cipta (MIC) 2012, di Depok. Mendapatkan Anugerah Kebahasaan kategori tokoh sastra dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara, (2015). Turut menggiatkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), melalui aktivitas baca: puisi bercerita, mendongeng dan berteater bersama siswa di sekolahnya, serta melakukan pendampingan belajar (Pendar) di NBCL dan beberapa komunitas literasi di Maluku Utara. Kini mengajar Seni Budaya di SMP Alkhairaat Ternate. Sampai detik ini, ia bergiat, belajar dan terus menjajal menulis naskah drama dan skrip film sebagai bentuk kecintaan pada dunia kepenulisan.
Email: wiwik_sriwiningsih@yahoo.com
Facebook: Wiwik Sriwiningsih
Twitter: @SriwiningsihWS