Selasa, 31 Juli 2018

Membaca Karya sastra

Membaca” Hujan di Tagalaya, karya Rajif Duchlun” Membaca Halmahera : Sebuah Tafsir Bebas
Oleh : Wiwik Sriwiningsih



Karya sastra lahir dari kegelisah penulis. Tidak terkecuali novel “ Hujan di Tagalaya” yang merupakan karya Rajif Duchlun. Karya sastra yang merupakan miniatur kehidupun sangat dipengaruhi sosiokultur penulisnya. Membaca “Hujan Di Tagalaya” yang selanjutnya di sebut HDT secara utuh, kita akan selalu menemukan pola dasar pada setiap penulisan novel dan cerpen. Yakni dalam menulis novel dan cerpen selalu berangkat dari plot atau karakter. Beberapa hal yang menarik dari HDT adalah bahasa yang mengalir, alur yang menarik sehingga seseorang tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dari sekian unsur instrinsik karya sastra, HDT secara dominan menonjolkan alur dan pesan sekaligus berusaha menonjolkan setting (latar sosial dan latar waktu)
Secara Ekstrinsik, Halmahera Barat digambarkan berdasarkan imaji penulisnya, membaca HDT , kita diajak menyelami berbagai persoalan kompleks Halbar 30 hingga 50 tahun silam, tentang cinta dan sengketa tanah dalam berbagai dalih dan tipu muslihat. HDT berupaya memberi pemahaman kepada kita bagaimana persoalan hidup bisa nampak sederhana atau sesuatu hal yang nampak rumit. Bahkan HDT, berupaya mengingatkan kita akan persoalan serupa yang menimpa seluruh Halmahera bahkan Indonesia.
Mengangkat latar sosial Halmahera Barat masih menjadi sesuatu yang ’’istimewa’’ dalam sebuah novel, karena jarang dilakukan. Sebuah novel yang merupakan bangunan dari unsur intrinsik dan ekstriksik memaksa kita melihat dari berbagi sisi. Secara bebas, HDT memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pembaca untuk menafsir pesan yang terdapat pada karya sastra. Dalam konteks amanat, HDT menarik untuk dikaji lebih mendalam, ketika menampilkan tokoh sentral yang kemudian mengarahkan pada pembaca untuk menemukan pesan tertentu, sekaligus penggunaan beberapa idiom lokal, sapaan para tokoh, turut mengentalkan latar sosial.
“APRIL, 1964. Halmahera, Tagalaya. Ini anak ketiga yang gagal menjadi besar...’’(hal 1)
“Dua buldoser membabat hutan. Pepohonan kelapa, cengkih dan pala ditebang rata tanah. Orang-orang hanya bisa menyaksikan pekerja-pekerja perusahan itu mengobok-obok lahan perkebunan mereka. Baba, Mamat, dan Odong dari kejauhan hanya bisa memperhatikan mereka dengan dada sesak...”(hal 49)
“gerobak sapi pulang-pergi melewati jalan bertanah. Senja itu pemuda-pemuda Tuada senang menghabiskan waktu di lapangan bola.... hanya ada beberapa lelaki di desa tetangga yang meminum tuak di batas kampung dan yang lainya memetik senar gitar..”(hal 51)
“itu biasa, bung. Fenomena masuknya perusahaanmemang tak jauh dari intrik dan fitnah. Bahkan di daerah lainantar keluarga saling membunuh hanya gara-gara beda pandangan tentang masuknya perusahaan. Ini memang kejahatan terstruktur. Investor adalah jejaring yang rapi...”(hal 68)

Beberapa kutipan di atas, memang belum menyiratkan sacara utuh pesan maupun latar sosial, namun secara sederhana,kepiwaian penulis, HDT mengingat kita akan persoalan serupa, yakni persoalan, pembangunan, tambanga, investor asing dan lain-lain. Pada banyak novel dan cerpen, amanat sebuah cerita biasanya dilekatkan pada tokoh sentral yang protagonis namun hal ini tidak terjadi pada HDT. Dalam penulisan karya sastra, Beberapa kemungkinan bisa terjadi, bagi yang “bernafsu” mengejar intrinsik bisa jadi mengabaikan ekstrensik. Kemudian ketika kita sedikit cermat, HDT berupaya keras mengejar tema,penokohan, dan setting dalam kemasan yang diutuhkan.

Membaca karya sastra adalah sebentuk Apresiasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar