Minggu, 15 September 2013

Cerpen Suanggi Corel

Oma baru saja mengakhiri sebuah cerita tentang makhluk seram bernama suanggi. Aku tak pernah melihat wujud nyata dari makhluk yang baru saja diceritakan Oma. Bagiku Oma adalah pencerita yang Hebat. Tapi aku tak pernah percaya pada cerita Oma, jika tokoh yang diceritakan Oma bernama Suanggi. Bagiku Suanggi tak pernah ada. Namun malam ini, cerita Oma membuatku tak bisa tidur. Potongan-potongan kalimat Oma membuatku bergidik. Kalimat Oma terus terngiang sejak saat itu, aku sering mengendap-endap tengah malam mengintip kamar mama. Aku ingin membuktikan bahwa cerita Oma salah. Mama tak pernah menjelma Suanggi. Tapi sekarang, justru mama yang mencurigai aku macam-macam. Mama bilang sikapku aneh, dan terbongkarlah segala misi rahasiaku menguntit gerak gerik mama. Akhirnya mimpi menelantarkanku pada pagi yang murung, mama menangkap basah aku saat mengintip lewat celah kunci pintu kamarnya. Mulai saat itu sikap mama agak berubah. Ia tak lagi bangun pagi untuk membuatkan aku kopi atau secangkir susu cokelat. Padahal sebelumnya mama selalu bangun lebih awal. ‘’ apa kamu mencurigai sesuatu?’’ Aku menggeleng ‘’Apa yang ingin kamu ketahui, Mia?’’ Aku menggeleng lagi ‘’Kamu percaya cerita Oma?’’ ‘’Maaf ma…‘’ Aku mengakhiri percakapan kala itu dengan kata maaf. Tapi, sepertinya mama masih marah. Sekarang aku sedang memikirkan bagaimana cara minta maaf pada mama agar mama kembali bersikap seperti biasanya. Tapi aku belum melakukan dengan sungguh-sungguh. Mama tak bicara, aku juga memilih diam. Sebenarnya aku tak ingin membesar-besarkan masalah tersebut. Aku tak ingin Oma dan mama berseteru panjang. Aku berusaha menghubungi Rara dan Syahdi, teman kelasku di di Global Tekno. Mungkin mereka bisa membantu menjernihkan masalahku. Tapi telah berkali-kali kuhubungi keduanya namun belum ada respon. Mungkin mereka sedang sibuk mengerjakan tugas dari Instruktur Mina. Sekarang memang bukan saat yang tepat untuk minta pertolongan mereka. Perasaan bersalah benar-benar menikamku. Mimpi tentang makluk suanggi benar-benar terasa nyata. Saat ini aku hanya tahu, aku ingin menangis, berteriak keras, rasanya sesak sekali untuk sekedar bernafas, seolah-olah semua organ dalamku hendak keluar merobek dada. Aku Telah berburuk sangka pada mama. Berimajinasi aneh-aneh, memikirkan mimpi-mimpi buruk. Padahal aku harus segera menggarap tugas yang diberikan Instruktur Mina. Aku bermimpi lagi. Dua ekor kucing baru saja terlindas mobil penumpang dari arah Selatan. Tubuh kedua kucing yang muncul dalam mimpi semalam remuk. Aroma darah mamalia itu masih melayang-layang dalam ruang kamarku. Ruang yang sesak dengan buku-buku komik dan sederet kisah detektif itu tambah apek dan pengap. Padahal aku harus menyelesaikan tugas akhir semester. Seharusnya aku menikmati tugas yang satu ini. Tugas dari Instruktur Mina untuk materi Desain Grafis, menciptakn wajah tokoh Antagonis dan protagonis dengan program Corel Draw X4. Tapi suasana kamar dan hatiku sungguh tak stabil. Namun dua hari lagi harus sudah rampung dan sudah harus disetor pada sang Instruktur. Saat aku baru menyalakan komputer. Kalimat Oma terngiang-ngiang lagi. Berdesak-desak dengan kalimat-kalimat lain dalam benak. Namun sekalimat singkat menjelma dalam doa : Semoga mama sudah tidak marah lagi. Suatu malam, Oma keluar membanting pintu kamar. Aku belum pernah melihat Oma semarah itu. Oma dan mama telah berubah. Aku seperti kehilangan sosok keduanya yang ramah dan santun. Meskipun keduannya kadang-kadang terkesan cerewet saat menasehatiku, tapi kebanyakan apa yang diucapakan keduannya benar dan penuh muatan kebaikan. Kecuali saat Oma berkisah tentang suanggi. Sewaktu aku kecil, aku selalu suka gaya cerita oma, namun saat Oma mulai mengaitkan suanggi dengan mama aku jadi malas mendengar cerita oma. Imaji kanak-kanakku berontak saat dipaksa menerima cerita yang tak masuk akal Oma. Cerita Oma selama ini tidak hanya menakut-nakuti aku agar tidak keluar malam. Namun ada maksud tertentu dibalik cerita oma, tentang dongeng mitos dan sekian legenda tentang suanggi. Makluk misterius yang hanya kudegar tanpa pernah kulihat wujudnya, kecuali dalam mimpi. Mimpi seram yang muncul berkali-kali itu, selalu ada wajah Oma, wajah mama berubah menyerupai mahkluk aneh seperti cerita Oma. Tapi dalam mimpi itu terasa lebih menyeramkan. Menurut Oma, suanggi adalah mahkluk paling rakus. Mahkluk yang tidak akan pernah merasa puas. Mahkluk yang terus menerus memelihara ketamakan yang tak masuk akal. Aku benar-banar ngeri membayangkan wujud dan karakter suanggi. Tiba-tiba Aku ingin sekali lagi mendengar cerita oma. Mencari detil-detil yang terlupakan. Oma terkejut saat aku minta Oma menceritakan kisah itu, namun ia senang karena aku mau mendengar ceritanya. Mendengar potongan-potongan kalimat Oma aku mencoba mengingat-ingat malam-malam seram itu. ‘’Mia…kapan kamu mulai bermimpi aneh itu? ‘’ Oma bertanya dengan wajah penasaran. ‘’Oma, itu hanya Mimpi. Mungkin aku terlalu lelah. sudahlah Oma kita tidak akan membahas soal ini lagi’’ Balasku. Aku ingin menyudahi obrolanku saat oma mulai menggiring ke wilayah tak masuk akal. Aku menangkap wajah kecewa Oma. Tatapannya kepadaku begitu Aneh, ia seperti mengkhawatirkan Sesuatu . ‘’Itu bukan mimpi biasa Mia…’’ tegas Oma berkali-kali. ‘’Oma ini hanya kebetulan…Sudahlah Oma’’ ucapku bernada sesal. Sebuah sesal menceritakan mimpi pada Oma Aku baru saja menjalani ritual aneh, mandi dengan kembang sembilan warna. Meminum segelas air yang diberi doa. Mantra aneh yang tak pernah kutahu maknannya. Orang-orang di sekitarku mulai aneh. Mempercayai sesuatu yang tak pernah dilihatnya. Mempercayai sesuatu yang hanya mereka dengar. Kepercayaan tunggal pada seseuatu yang bukan tunggal. Mahkluk rekaan orang-orang terdahulu. Sebenarnya aku tak perlu menyalahkan Oma atau siapa pun, dan tak perlu mencari kambing hitam atas segala kekacauan pikiran dan tindak-tandukku saat ini. Seharusnya aku sudah mampu membedakan mana yang realistis dan mana yang tidak. Hampir dua hari aku tak keluar kamar kecuali mandi dan makan, sesekali membuat susu cokelat atau kopi. Syukurlah rupanya mama sudah tidak marah lagi, saat aku mau keluar kamar membuat susu, tahu-tahu mama sudah di depan pintu dengan segelas susu hangat. Sekian detik mama mematung sambil menatap gambar di layar komputerku, sejumlah gambar organ masih berserakan dalam kotak Shapes Rounded Rectangle. Aku belum menyusun organ–organ itu pada posisi dalam tubuh manusia. Kepala, leher, mata, alis, hidung, telinga, gigi, bibir, lidah, hati, jantung, usus besar-kecil saling lilit-melingkar bersama detil-detil wujud organ lainya. Setelah semua gambar tersebut selesai kubuat, aku akan menyusun pada posisinya. Mama pasti heran aku bisa menggambar sebagus itu. Sebab sejak kecil aku tak begitu tertarik dengan gambar. ‘’Kok kayak tugas biologi, gambar organ?’’ komentar mama. Aku hampir tak mendengar kalimat lisan mama. Beberapa detik lalu aku baru saja menyaksikan peristiwa spektakuler, mama bernafas seperti naga. Api sebesar nyala lilin keluar dari semua indera mama, telinga, mulut, hidung, mata, semua mengeluarkan api dengan kecepatan kilat mendarat di Layar komputer di depanku. Aku mencari api-api itu di antara organ-organ yang berserakan pada layar komputerku. Tapi tidak ada. Ah, jangan-jangan itu hanya halusinasiku saja. Mungkin aku terlalu lelah. Bibirku berucap istigfar tiga kali, prrrannnkkk….. mama menjatuhkan gelas susu hangat yang tadi masih di tangannya. ‘’Ya ampun Mia… gelasnya retak, nanti mama buatkan lagi…’’ ujar mama setelah siuman dari kepatungannya Itu bukan retak ma, tapi pecah. Ucapku belum sempat terlisankan, tiba-tiba bunyi TEK dengan iringan musik nit..nit…nit… menggema dalam ruang kamarku, sebagian cahaya berangsur sirna. Listrik padam. Meskipun tidak benar-benar gelap karena hari telah pagi. Saat menatap layar komputer yang hanya memantulkan wajah sebalku, serasa aku ingin marah pada mama, seolah-olah mama adalah pejabat PLN yang baru saja memadamkan listrik ‘’Barangkali kamu harus istirahat Mia? lihat bulan di matamu’’ ucap mama sambil menatap lingkaran unggu nyaris hitam di mataku, lalu pergi meninggalkanku sendirian. Aku menatap tombol kontrol dan huruf S pada keyboard dengan kebencian yang nyaris tak terbendung. Organ-organ yang kugambar belum sempat kukontrol S sirna bersama sebagian cahaya dalam ruang kamarku. Satu jam kemudian lampu menyala. Baru saja aku menghidupkan komputer di depanku. Mama mengetuk pintu, dengan sangat terpaksa aku berdiri membukakan pintu. Sebab, setelah mama keluar tadi, aku menguncinya dan berharap tak ada yang masuk mengganggu proses kreatifku lagi. ‘’Makasih ma?’’ ucapku sambil menerima segelas susu dan langsung menutup pintu agar mama segera berlalu. Meskipun pintu sudah kututup. Suara mama masih menyita waktuku ‘’Mia, lampu udah menyala?’’ Ucap mama bernada berita Aku udah tahu. ‘’Iya ma ‘’Aku menyahut dari dalam kamar. ‘’Dasar PLN, sedikit-sedikit lampu mati, bagaimana kulkas, komputer, TV nggak cepat rusak…belum lagi tarif yang tiba-tiba melonjak…’’ Suara Mama terdengar seperti sedang demonstrasi pada PLN, tapi mama tidak tahu aku sangat tersiksa mendengar semua itu. Aku tidak bisa konsentrasi. Mau minum susu, asap masih mengepul di permukaan gelas, menandakan susu belum hangat agar bisa sekali teguk tuntas. Saat kubuka file, pada lembar elektronik di depanku, aku hanya menatap selingkar bulat calon kepala, yang lain lenyap. Kali ini aku harus bekerja ekstra keras plus teliti dan sabar, agar bisa menghasilkan gambar yang diinginkan sang Instruktur tempat aku kursus. Beberapa menit kemudian energi panas pada segelas susu di depanku telah berkurang, dan aku tergoda menyeruputnya. Tak sampai setengah menit, susu cokelat itu tenggalam dalam kanal lambungku. Aku seperti mendapatkan tenaga baru, entah dari susu cokelat atau dari mana. Tanganku telah menggenggam mouse dengan lincah. Bunyi klik.klik.klik dari mouse terdengar sangat ritmis berkolaborasi dengan hentakan musik Bollywood yang sengaja kuputar untuk merangsang imajinasi otak kiriku. Dua jam telah berlalu. Semua organ telah selesai aku gambar dalam kotak Shapes Rounded Rectangle, semua telah kuberi warna mirip organ asli, kecuali mata…aku berpikir keras membuat warna mata pada tokoh rekaanku. Aku tidak ingin memberi warna merah seperti cerita Oma, aku juga tidak yakin Suanggi bermata merah. Tanganku terus mengklik warna-warna, tekstur, Pattern, Gardient, garis, akhirnya kutemukan warna hijau dengan titik kuning nyaris oranye—warna api. Setelah sekian menit aku menatap sok teliti, jari kelingking dan jari manis kiriku tak lupa menekan tombol control dan S secara bersamaan. Aku bernafas lega. Aku memperbaiki posisi duduk, menaikan volume musik Bollywood hingga seratus persen. Aku tak bermaksud menari ala Bollywood seperti Arjun Rampal dan Preety Zinta dalam Film Dil Hai Tum Hara. Aku masih duduk di depan meja komputer, tapi jiwaku benar-benar menari bersama mereka. Setelah lagu soundtrack Dil Hai Tum Hara, Dil To Pagal Hai, Mujhese Dosti Karoge, tiba-tiba ada suara musik aneh yang menyusup dari pintu kamar. Bunyinya sangat mengganggu, thok… thok… bruuk… bruuk…brraakk… dengan volume yang tak kalah besar dari hentakan musik Bollywood yang tengah kunikmati. Aku menduga siapa pun yang membunyikan musik dari arah pintu itu, pasti tangannya kesakitan. Sungguh musik dari arah pintu itu terdengar seperti hentakan kemarahan. Jika aku tak segera membuka pintu atau mengecilkan volume musik Bollywood. Akan lahir sebuah musik ‘tak diinginkan’ dari perkawinan musik Bollywood dengan alat musik Pintu Karya mama. Aku telah mengecilkan volume musik hingga tiga puluh persen, kini mama menaikan volume siaran wajibnya. “ Mia, ini rumah, bukan hutan, bukan diskotik, kamu pikir pesta muda-mudi, kamu anak gadis, anak perempuan, jaga sopan santunmu….” Ucap mama dari balik pintu kamarku, kemudian berlalu dengan meninggalkan bunyi keras dari pintu. GBrrraaaakkk. Rupanya rasa marah mama yang disebabkan musik Bollywood, lebih besar dari rasa sakit di tangan akibat memukuli pintu kamar yang tak tahu apa-apa. Sepertinya mama masih belum puas, ia kembali mengetuk pintu lagi, namun kali ini lebih berperasaan, ketukan standar seorang ibu membangunkan anaknya. Mungkin tensi kemarahan mama agak turun. Akhirnya aku beranjak membukakan pintu. Saat pintu terbuka aku tak mendapati mama, tapi Oma. ‘’ Mendengar Musik bukan dengan telinga, tapi dengan ini’’ ujar Oma sambil menggerakan tangannya ke arah dada saat berucap ‘ini’. Oma pergi setelah memberi ceramah seni plus rohani yang manis. Yah, itulah Oma, kadang terlihat sangat bijak, kadang cerewet seperti radio rusak, kadang juga diam tak bicara apa-apa. Aku baru saja mengantar tugas ke rumah Instruktur Mina, aku agak sedikit kecewa, sesampai di rumahnya, sang instruktur hanya menyuruhku meletakan hasil print out di atas meja dan menyalin soft file di komputer sang Instruktur. Tak selembar pun tugas yang kukumpul diliriknya. Padahal aku sangat berharap, ada sekalimat singkat untuk tugasku. Misalnya, Tugasmu Keren, Bikin Berapa Hari?. Atau, ini gambar apa? Tokoh berwajah manusia seram, tak bertubuh, hanya kepala plus leher, dengan organ dalam tercerabut, seperti seoker sotong yang ditarik kepalanya. Dengan senang hati aku menjawab. Ini namanya Suanggi Corel, Instruktur. Visualisasi dari donggeng Oma tentang suanggi di Indonesia Timur. Tapi tampaknya aku tak perlu menjawab apa-apa, sebab tak ada pertanyaan atau komentar singkat yang perlu kujawab. Hari ini seperti banyak pagi sebelumnya, praberangkat kursus komputer di Global Tekno, aku menyempatkan membaca harian kota, Malut Post. Sebuah halaman memberi kabar, Rumah kepala Global Tekno, Sutekno Gunawan, di kawasan Tanah Tinggi, dilalap si jago merah. Kebakaran tersebut diperkirakan terjadi pukul pukul 12.00 malam. Malang menimpa, Sutekno Gunawan, ia tidak hanya kehilangan harta benda, namun ia harus kehilangan, isteri tercinta sekaligus salah satu intstruktur Global Tekno, Rusmina Ismail. Dalam insiden tersebut, tidak hanya menyisakan duka bagi Sutekno, namun aroma misterius kejadian naas tersebut masih diburu pihak polres. Salah satu kejanggalan dari peristiwa tersebut adalah tidak ada satu pun harta-benda milik korban terselamatkan. Anehnya, di samping tubuh korban, di temukan sebuah gambar bertajuk “Suanggi Corel” dalam ukuran kertas F4. Kertas tersebut seolah anti air dan api. Untuk sementara polisi masih kesulitan menghubungi suami korban, yang di duga tengah keluar kota sejak tiga hari lalu…

3 komentar: