Senin, 16 September 2013

TAMAN RESMICKTI (cerita yang sangat membosankan, di Saat Bosan)


Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, seringkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Namun sadar atau tidak sisi insani selalu berjuang setengah mati untuk memahami segala yang terjadi. Mengapa kita berlaku begini—begitu dan seterusnya.

…Aku ingin duduk di sebuah bangku taman panjang. Seharian. Dari pagi hingga petang. Berdiam diri berharap tak ada yang mengenalku. Tak ada yang menyapaku. Tapi rasanya tidak mungkin. Taman itu setiap hari kukunjungi. Aku duduk berjam-jam. Sesekali berbicara jika kebetulan ada yang menyapa. Diam lagi. Begitu seterusnya. Setiap hari ada saja yang menyapaku. Mengajakku ngobrol yang tak kuminati. Aku hanya ingin duduk menikmati yang kulihat. Mendengar segala suara. Aku pulang setelahnya. Kini aku tak mendengar apa-apa. Aku tak melihat apa-apa. Semua yang kulihat. Aku langsung lupa setelahnya. Aku lupa yang aku ucapkan. Aku lupa yang kudengar. Aku hanya ingat aku dari rumah menuju taman…
Entah kapan kukunjungi taman itu. Taman hijau serupa pulau. Serupa gunung. Kadang berkabut kadang berawan. Kadang banyak orang lalu lalang. Dua remaja duduk tak lama kemudian pulang. Sepasang lansia duduk di bangku dekatku. Menatapku penuh kasih seolah aku adalah cucunya—Putri dari anaknya.
Aku masih di taman. Dengan tas Ransel hitam sebotol air mineral. Nampaknya semua orang yang ada di taman tahu apa yang aku lakukan setelah sampai di bangku taman. Duduk hingga petang membaca tulisan tentang diri yang setengah mesti. Aku melanjutkan membaca.
Aku bertemu fotografer. Dia memotret kupu-kupu yang sedang berkejaran. Bajunya warna coklat pekat berbau keringat. Ia mengajakku berbicara. Menanyakan namaku. Aku tak menjawab. Ia menyebut namanya. Kemudian menuliskan di buku yang kupegang. Resmickti. Aku bilang namanya aneh. Banyak huruf mati. R-e-s-m-i-c-k-t-i. Aku bilang dia seret rejeki. Tak bahagia kecuali sudah tua. Dia tertawa. Dia bilang aku lucu. Dia bilang aku perempuan taman. Rupanya Oma dan Opa yang duduk di bangku belakang mendengar obrolanku. Aku bingung. Oma memarahi Resmickti. Menyuruhnya pergi.
Hari seperti selalu pagi. Kadang berkabut kadang berawan. Aku melihat sepasang lansia di taman. Mereka sangat suka saat kupanggil Opa dan Oma. Mereka tersenyum padaku. Aku bahagia. Ada seorang fotografer namanya Resmickti. Ia memotret Oma, Opa dan aku. Ia memberikan aku sebotol air mineral dingin. Bajunya coklat bau keringat. Dia bertanya berapa usiaku. Aku tersenyum. Aku bilang aku tidak tahu. Oma marah pada fotografer itu. Oma menyuruhnya pergi. Fotografer itu ingin memperlihatkan sebuah foto. Katanya karya terhebatnya. Tapi karena Oma melarangnya. Ia pergi. Aneh. Dia seperti hendak menangis. Padahal aku ingin lihat karya terhebatnya.
Aku duduk di bangku panjang. Lima kupu terbang bersama-sama. Hinggap pada sebatang bunga ungu bintik-bintik coklat. Aku paling suka bunga itu. Aku Tanya pada seorang perempuan tua. Perempuan itu bilang. Panggil aku Oma. Itu namanya bunga anggrek. Oma menerangkan semua jenis bunga. Aku mencatatnya. Kertas. Mawar. Kamboja. Cempaka. Rose. Melati. Kaktus. Hebras. Lili….. Oma bicara agak cepat kepalaku pusing.
Perempuan tua itu bilang, ini masih terlalu pagi. Bangku yang kududuki basah embun. Ia mengajak jalan-jalan mengelilingi taman. Suami perempuan itu juga ikut. Ia ingin membawakan tas ranselku. Aku bilang tidak usah terimakasih. Bapak sudah tua biar aku bawa sendiri. Suami perempuan itu bilang panggil aku Opa. Aku memanggilnya Opa. Ia sangat baik. Tapi aku ingin sendiri. Aku bilang pada Oma dan Opa aku ingin sendiri. Oma duduk agak menjauh setelah mengantarku duduk di sebuah bangku taman panjang. Oma dan Opa duduk di belakang bangku yang aku duduki kira-kira jarak lima meter. Oma terus melihat ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Aku berjalan menuju ke arahnya. Aku mendekat ke arahnya. Oma menghapus airmatanya. Aku bertanya kenapa menangis. Oma menjawab kalau ia tidak menangis. Oma menerima telepon. Oma berbicara dengan seseorang di telepon. Tidak lama kemudian seorang perempuan datang. Aku mengulurkan tangan hendak menyalaminya. Perempuan itu memeluku dan menangis. Aku Tanya pada Oma, kenapa perempuan itu menangis. Oma bilang perempuan itu anak Oma. Aku agak kurang suka dengan anak Oma. Orangnya aneh. Aku baru kenal. Aku mengajaknya berkenalan. Ia hanya menatap tanganku. Kemudian ia menangis. Dan memelukku. Aku ingin pulang ke rumah.
Di taman ini aku merasa asing. Tak ada yang kukenal. Ada yang datang beramai-ramai. Berelima. Berempat. Berdua. Aku datang seorang diri. Aku tak berteman dengan siapa pun. Di taman banyak kupu berterbangan. Rumput hijau. pohon ribun berbuah serupa apel. Rasanya asam sekali. Aku menggigit dan langsung melepaskan gigitan itu. Seorang perempuan tertawa melihat kelakuanku. Ia mendekatiku menawarkan minuman yang dipeganganya. Aku bilang aku selalu bawa minuman. Sebotol air mineral. Ia menawariku roti dua jenis. Sebungkus bertulis cokelat sebungkus lagi kenari. Mungkin perempuan itu pikir aku lapar. Aku menatapnya. Aku bertanya. Apa aku mengenalmu. Perempuan terkesiap, ia balik bertanya. Apa kau ingat aku. Aku menggeleng. Perempuan itu seperti kecewa dan hampir menangis. Padahal aku tak suka melihat orang menangis.
Aku keliling taman. Seorang perempuan hampir paruh baya selalu ada di dekatku. Ia seperti sengaja mengikutiku. Aku memberanikan diri bertanya namannya. Ia tersenyum. Ia bilang terserah aku. Aku boleh memanggilnya apa saja. Aku balas tersenyum. Kemudian tertawa agak keras. Perempuan itu menatapku hampir menangis. Aku telah membuatnya tersinggung. Kenapa menangis? Aku bertanya lalu minta maaf. Ia masih menangis. Aku tak tahu bagaiman cara menenangkannya. Untung saja ada seseorang yang ternyata ibu perempuan itu. Mengajaknya menjauh dariku. Saat masih berjarak dua meter aku bertanya. Pada perempuan tua itu. Apa aku mengenal…Oma? Dengan tegas Oma menjawab tidak. Lalu membawa putrinya pergi dariku. Aku kembali duduk di bangku. Aku memang tak kenal siapa pun. Bahkan perempuan tua itu tak mengenalku. Siapa yang mengenalku. Boleh menamaiku apa saja…
Aku baru tiba di taman. Ada sebuah bangku panjang. Hari ini orang sangat ramai. Dua orang perempuan berpakain serba putih sedang ngobrol di bangku sebelah. Mereka sangat serius. Tapi aku tak tahu apa yang dibicarakan. Sesekali mata mereka mengamatiku. Aku merasa risih. Sebab tidak hanya mereka berdua yang memperhatikanku. Ada sepasang lansia juga duduk tak jauh di sekitarku. Kadang mataku bertemu dengan salah satu dari mereka. Aku tersenyum. Begitu pula mereka. Apa aku mengenal mereka. Ah, rasanya tidak. Buktinya mereka duduk di bangku sebelah. Aku ingin sekali bertanya pada mereka. Apa mereka mengenalku.
Di bawah pohon rimbun berbuah asam. Ada lelaki berbaju coklat. Kumisnya tipis. Mungkin ia tukang foto. Di tangannya ada kamera. Aku melihatnya. Ia tersenyum melambaikan tangan. Aku balas tersenyum. Mudah-mudahan semua orang yang ada di taman tak tahu kalau aku menulis mereka. Tapi lelaki itu sepertinya tahu. Ia mendekat. Aku menutup bukuku. Setelah itu ia pergi. Sepertinya ia tahu aku tidak nyaman. Ia kembali duduk di bawah pohon rimbun. Aku menuju arahnya. Aku memberanikan diri bertanya. Apa aku mengenalmu? Lelaki itu menantapku terkejut. Aku mengulangi kalimat Tanya lagi. Apa kamu mengenalku…sunyi tak ada jawaban.
Aku baru tiba di taman. Membuka tas ransel mengambil sebotol air mineral. Ada sebuah amplop coklat tergeletak di bangku taman. Bertulis untuk Resmickti. Aku membuka amplop tak bersegel. Aku memasukan tanganku ke dalam amplop coklat. Ada tiga lembar foto. Di setiap foto itu ada aku. Foto pertama, aku berbaju krem dengan celana jeans coklat pekat bersama seorang lelaki berbaju coklat pekat juga. Tangan lelaki itu berteger di pundakku. Foto kedua adalah fotoku juga. Aku di tengah diapit seorang lelaki dan seorang perempuan cantik. Dibalik foto itu bertulis Resmickti bersama Ayah bunda. Lalu kulihat foto yang ketiga. Aku di apit perempuan yang mirip dengan perempuan di foto yang kedua. Tapi ini sudah tua. Di belakang foto bertulis Resmickti bersama Opa dan Oma.
Bangku taman lembab dan basah. Sepertinya baru habis hujan deras. Di bangku panjang itu tertulis Resmickti. Aku berpikir. Mungkin itu nama pembuat bangku. Atau bisa jadi itu nama sebuah merek perabot rumah. Atau mungkin nama orang yang biasa duduk di bangku itu. Aku belum ingin duduk. Aku masih ingin berkeliling. Secara tak sengaja aku menghitung jumlah bangku yang ada di taman. Di taman ada lebih dari 20 bangku. Semua bangku itu ukuranya sama. Tapi hanya satu bangku yang bertuliskan Resmickti. Atau jangan-jangan Resmickti nama orang. Kepalaku sakit. Airmataku keluar. Hangat meleleh basah…
Di sebuah taman ada bangku bertulis Resmickti. Bangku itu tak ada yang menduduki. Semua yang lewat hanya melirik sekilas ke arah bangku. Ke arahku lalu berpaling muka. Aku penasaran. Kenapa tak ada yang duduk di bangku bertulis Resmickti. Aku duduk di bangku bertulis dan memulai menulis. Hari ini aku melihat wajah-wajah di taman. Seolah mereka tak asing bagiku. Aku merasa pernah bertemu mereka. Wajah itu sangat familiar. Wajah orang tua yang kupanggil Oma dan Opa. Wajah lelaki muda berbaju coklat. Wajah perempuan cantik bermata indah. Aku tak tahu bagaiman cara melukis matanya. Aku hanya tahu aku suka menatap matanya. Matanya jernih. Ia menatapku dan tersenyum. Sikapnya keibuan. Umurnya dua kali umurku. Aku ingin memanggilnya kakak. Tapi ia lebih suka dipanggil ibu. Hari ini aku ngobrol cukup lama dengan perempuan bermata indah itu. Aku bertanya banyak sekali. Dia bilang ia sudah menikah. Dan melahirkan seorang putri cantik. Aku bertanya di mana anaknya. Perempuan itu menjawab lama sekali. Namun akhirnya ia menjawab anaknya di rumah. Anaknya seumur denganku. Aku bilang aku ingin berkenalan dengan anaknya. Ia memelukku seolah aku adik atau mungkin anaknya. Hari ini aku bahagia. Tapi badanku cukup lelah. Aku mau pulang. Aku berpamitan. Aku bilang aku ingin memeluknya. Perempuan itu terharu lalu memeluku. Aneh. Ia menangis. Apa aku menyedihkan, sehingg ibu harus menangis saat memeluku…
Aku haus. Air mineral yang kubawa habis. Kebetulan ada seorang lelaki berkaos dan berbaju coklat membawa sebotol air mineral yang masih utuh. Aku meminta padanya. Aku sangat haus. Aku tak punya uang. Untung ia baik. Ia memberiku Cuma-Cuma. Di taman ini hanya lelaki berbaju coklat yang aku kenal. Namannya Resmickti. Aku ingin bilang dia orang baik. Memberiku sebotol air mineral. Ia bertanya padaku. Jika ada orang lain yang membawa air mineral lagi untukku, siapa yang lebih baik ? dia atau orang itu. Aku tak menemukan jawaban. Aku sedih tak bisa menjawab pertanyaanya. Dia bilang hanya bercanda. Aku bertanya padanya di mana tempat tinggalnya. Dia bilang rumahnya di belakang taman tak jauh dari sini. Ia bertanya di mana rumahku. Aku bilang, kalau aku mau pulang aku duduk di dekat pohon rimbun. Ada mobil yang akan mengantarku ke rumah dan ke taman. Tapi aku belum ingin pulang sekarang. Lelaki itu mengangguk-angguk…

Seorang perempuan tampak baik. Ia menawariku dua buah roti. Aku mengambilnya sebuah. Aku bilang dia baik sekali. Ia bilang, panggil aku bunda. Aku tertawa. Dia juga tertawa. Aku bilang dia masih muda. Aku lebih suka memanggilnya kakak. Sekali lagi dia bilang panggil aku bunda. Akhirnya aku memanggilnya bunda. Bunda mengajakku keliling taman. Ia bertanya padaku. Sejak kapan aku suka pergi ke taman. Aku menjawab setiap hari. Bunda tersenyum. Aku menatap mata bunda. Mata bunda jernih sekali. Pada mata bunda aku bisa melihat senyumku. Tiba-tiba air matanya meleleh. Jangan menatapku nak…jangan. Bunda memintaku berhenti menatap matanya.
Setiba di taman aku bertemu tukang sapu. Aku menyebutnya tukang sapu karena di tangannya ada sapu. Aku juga bertemu tukang foto. Ia selalu memegang kamera. Kadang di kalungkan di lehernya. Dua manusia yang kutemui pagi ini sangat ramah. Mereka menatap iba padaku. Aku paling tak suka tatapan itu. Aku ingin menghindari mereka. Aku berjalan menuju sebuah bangku taman panjang. Bangku bertulis Resmickti. Seorang perempuan duduk menanti. Ia tersenyum padaku. Aku membalas alakadarnya. Mataku beradu dengan matanya. Matanya sangat indah. Aku ingin terus menatapnya. Di matanya kulihat diriku di sebuah taman. Serupa pulau. Serupa gunung. Kadang berkabut kadang berawan. Tapi mungkin bukan diriku…
Kupetik buah asam berdaun rimbun. Kugigit sekali lalu kubuang. Tukang taman memungut buah yang kupetik dan kubuang. Ia berlalu seraya memperingatkanku. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Aku mengulangi ucapannya. Lebih dari tiga kali. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang…
Intermezo
…Aku ingin duduk di sebuah bangku taman panjang. Seharian. Dari pagi hingga petang. Berdiam diri berharap tak ada yang mengenalku. Tak ada yang menyapaku. Tapi rasanya tidak mungkin. Taman itu setiap hari kukunjungi. Aku duduk berjam-jam. Sesekali berbicara jika kebetulan ada yang menyapa. Diam lagi. Begitu seterusnya. Setiap hari ada saja yang menyapaku. Mengajakku ngobrol yang tak kuminati. Aku hanya ingin duduk menikmati yang kulihat. Mendengar segala suara. Aku pulang setelahnya. Kini aku tak mendengar apa-apa. Aku tak melihat apa-apa. Semua yang kulihat. Aku langsung lupa setelahnya. Aku lupa yang aku ucapkan. Aku lupa apa yang kudengar. Aku hanya ingat aku dari rumah menuju taman…
Tas ranselku berisi penuh. Dua buku tulis tebal yang masih kosong. Tiga buah pena. Satu botol air mineral yang masih utuh. Dua buah kue bertulis rasa coklat dan rasa kenari sebesar kepalan tangan lelaki dewasa. Tapi bentuknya tak mirip kepalan tangan. Aku hanya mengira-ngira. Ada alat perekam suara. Ada kamera. Pantas rasanya berat. Di antara sekian isi ransel aku mengambil sebuah buku, pena kemudian Air mineral yang langsung kubuka segelnya dan kuminum nyaris setengahnya. Aku buka buku yang kupegang. Pada lembar pertama telah tertulis. Entah tulisan siapa. Tulisan bersambung. Aku masih bisa membaca dengan jelas : Tulis semua yang kau lihat dan dengar hari ini. Kalimat itu seperti memerintah. Aku mulai menulis. Tentang Ranselku dan segala isinya.
Tulis semua yang kau lihat dan dengar hari ini—kalimat perintah. Aku tak ubahnya robot. Kalimat itu seperti remot. Mataku menatap sebuah pohon berdaun rimbun. Menatap dari bawah ke atas. Akar yang menyembul—Batang—cabang—ranting–daun—buah—pucuk. Mataku beralih. Dua perempuan berpakaian putih. Berbicara sesama mereka. Matanya siaga mengawasiku. Sepasang Oma-Opa yang tak sedetik pun mengalihkan pandang dari sebuah bangku panjang. Bangku yang kududuki. Aku benar-benar ingin tahu. Apakah sepasang lansia di bangku seberang sedang mengamatiku atau sedang mengamati bangku yang kududuki. Aku memilih berjalan memutari taman sekaligus pembuktian pada keraguan. Masihkah Oma memperhatikan bangku yang aku duduki atau memperhatikan aku meski tak lagi duduk di bangku. Ternyata dugaanku salah. Kini Oma tak memerhatikan aku maupun bangku. Hanya dua perempuan berbaju serba putih seperti sengaja mengikutiku. Aku menatapnya sinis. Tapi dua perempuan itu tersenyum padaku. Menyiratkan kesan—kami tidak berbahaya. Kulihat wajah mereka amat kelelahan. Seperti tak tidur semalam. Seragam putih yang mereka kenakan menambah kesan lelah dan pucat wajah mereka—aku menyebutnya seragam karena baju yang digunakan keduanya sama.

Vinaamalia
Pada pak sopir yang mengantarku ke taman aku mengucapkan terimaksih. Pak sopir mengangguk sopan. Hari ini aku berkenalan dengan seorang perempuan. Umurnya kurang lebih sama denganku. Ia pandai sekali bercerita. Aku tertarik mendengar kisahnya. Namanya Vinaamalia. Hari ini kutulis tentang dia : Jarum jam seringkali berhenti berdetak saat bola matanya berhenti berputar dan fokus pada satu titik : relik, unik, asing, tak biasa. Dia jatuh cinta lagi. Bahkan dengan sebuah pena pun dia jatuh cinta. Cinta asam manis yang dirasai sendiri. Konon ia anak hampir bungsu. Dia lahir dengan urutan genap. Tanggal genap. Bulan genap. Tahun ganjil. Mungkin tahun ganjil itulah yang membuat otaknya agak usil. Melihat sesuatu yang tak biasa. Selebihnya dia bijak, perasa, mudah tersentuh, tapi kerap juga malu dan layu. Sebenarnya ia memang pemalu dan tertutup. Tapi tidak lagi kini. Mungkin karena usia. Buah pengalaman yang bergelantungan telah dipetiknya. Dirasai, manis, asam, sepat juga getirnya. Kini rasa itu menjelma bingkis yang manis. Satu-satunya manusia yang dikasihi adalah ayahnya kini. Satu ingin ayahnya yang belum ia tunaikan. Keinginan yang juga ia ingini.Tapi sampai itu tak kunjung akhir.
Aku membaca berkali-kali catatan tentang Vinaamalia. Tapi itu bukan untuk Vinaamalia. Itu hanya karakter salah satu tokoh film yang baru kutonton bersama pak sopir. Aku berharap bisa bertemu lagi dengan dia. Tapi rasanya tidak mungkin. ia meninggalkan pesan pendek : lekas pulang ke rumah. Jangan terlalu lama duduk di taman…
Aku berkenalan dengan Vinaamalia. Salah seorang pengunjung taman. Ia bersama seorang teman. Vinaamalia memperkenalkan temannya padaku dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku hanya mencatatnya dalam buku : ia tak seramah yang terlihat. Kalimatnya nyaris mantra kadang doa yang tak sampai pada telinga para dewa. Karena ia bukan pemuja. Ia pengingat yang luar biasa. Sikap manjanya sedikit berlebihan. Ia paling cepat iba sekaligus tak mudah percaya dengan segala hal yang baru dilihatnya. Ia menganggumi nuraninya sendiri. Ia suka boneka barbie, polos lucu, cantik bagai bidadari. Tapi bidadari dalam imajinasinya adalah sesuatu yang indah. Asyik juga membahagiakan. Kini ia mulai asyik. Aku berhenti menulis.
Seseorang mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya. Dia bilang dia teman Vinaamalia. Aku bilang aku tidak kenal Vinaamalia. Dia satu-satunya orang yang kukenal. Ia tertawa. Tak lama kemudian Vinaamalia datang bersama dua orang teman. Ia memperkenalkan dua temannya dengan gaya yang tak kumengerti. Aku mengingat kalimat yang ia ucapkan. Pertama : masih lelaki dan merasa lelaki bukan karena telah beristri dan berbuah hati. Tubuhnya bagai panggung. Setiap langkah dan geraknya adalah adegan pertunjukan. Kritis otaknya. Bidik imjinasinya selalu mengena. Bahkan ikan di kolam mengerti bahasa dan siulan magisnya. Ia menulis tentang diri sendiri di seantero pekarangan rumahnya. Saat kawan lama bertandang ke rumah tak perlu bertanya kabarnya. Setiap sudut rumahnya menjawab segala tanya. Mungkin karena itulah ia hemat suara.
Kedua : Lelaki klimis. Memiliki tanda lahir di seputar wajahnya. Rambutnya selalu rapi tak seperti teman lainya. Dia paling rapi. Mungkin karena telah beristeri dan beranak. Ia perlu menjadi contoh. Menjadi panutan minimal dua buah hatinya. Bicaranya biasa. Teramat biasa. Tapi ia adalah orang paling bisa memahamkan dirinya dengan segala yang baru. Terkadang ia merasa tak perlu menjelas-jelaskan untuk membuat orang mengerti, toh ia pikir otak akan mengerti dengan sendiri tanpa campur tangannya. Jika sudah begitu ia menyorot dengan mata, bersekutu dengan bibir, untuk berkolaborasi membuat cengiran iseng atau bisa jadi semacam masa bodoh yang diucapkan dalam diam. Sebenarnya ia sangat ramah. Meskipun ia keras, cukup keras untuk berkata tidak. Ia lebih sering mengalah. Tapi ia bukan jenis manusia yang pasrah, dia hanya mengalah menunggu jeda.
Setelah menjelaskan semua itu Vinaamalia tertawa pada dua teman yang dikenalkannya. Ia bilang ia hanya bercanda. Ia tidak sedang memperkenalkan dua temanya. Ia sedang bercerita tentang tokoh film yang baru di tontonnya. Aku bertanya pada Vinaamalia, kapan aku bisa menonton film itu ?
Vinaamalia mengajakku keliling taman. Padahal aku baru saja mengenalnya. Ia ingin menunjukan sesuatu padaku. Aku menolak ajakan itu. Aku bilang hari ini aku lelah sekali. Ia mengajak sekaligus memaksa. Itu lukisanku yang pertama kau harus melihat. Ajak Vinaamalia setengah menarik tanganku—memaksa. Pada sebuah tempat. Tak jauh dari taman. Mungkin juga sebenarnya masih di taman. Aku masuk pada sebuah ruang. Vinaamalia bilang ini sebuah studio sekaligus galeri lukis. Aku tak percaya ucapanya. Di sini aku hanya melihat satu buah lukisan yang belum selesai. Diam-diam aku menulis tentang lukisan itu : lelehan cat yang bertabrakan. Guratan-guratan tajam. Lukisanya terasa lebih panjang dari bidang panjang yang dibentangkannya.
Vinaamalia mengajakku di ruang sebelah. Di ruang itu juga hanya ada satu lukisan. Nampaknya sudah selesai. Aku menulis lagi : sapuan kuasnya terasa spontan. Aku tak melanjutkan…aku bukan perupa atau pelukis. Aku juga bukan penikmat seni lukis. Aku tak suka mencatat galeri Vinaamlia. Aku ingin keluar. Aku ingin pulang. Kepalaku sakit. Tiba-tiba lampu di galeri padam…
Kehidupan di taman hari ini sangat tenang. Udaranya sejuk. Aku bisa merasakan oksigen keluar masuk dari hidung dan mulut. Menutup mata. Merasakan damai duduk pada kursi. Di taman ini aku masih sendiri. Sesekali kulihat kupu berterbangan. Beberapa pohon berdaun rimbun. Buahnya menyembul keluar mengintip matahari. Aku ingin memetik buah itu. Tapi ada ragu. Antara petik—jangan—buang. Aku tidak jadi memetik hanya memandang. Membayangkan rasa buah hijau muda hampir kuning. Air liurku terkumpul membenam lidah kemudian tertelan bersama seteguk air mineral yang kuminum. Aneh. Aku minum seteguk air mineral rasanya seperti menelan buah dari pohon rimbun di depanku. Padahal air ini aku mengambilnya dari dalam tas ranselku bukan dari bawah pohon.
Aku berkenalan dengan Vinaamalia. perempuan seumuran denganku. Mungkin sedikit lebih tua. Lima atau sepuluh tahun. Aku paling tak bisa menebak umur manusia. Aku hanya mengira-ngira. Wajahnya tebal bantal. Mungkin ia baru bangun tak sempat mandi, hanya gosok gigi dan membasuh muka. Rambutnya tersisir kurang rapi diikat sekenanya. Ia duduk di sampingku. Ia tahu aku sedang memperhatikannya. Ia sama sekali tak merasa risih kuperhatikan seperti itu. Ia membuka tas yang dibawanya. Mengambil sesuatu yang ternyata pemantik dan rokok. Ia menghisap dengan kenikmatan yang tak kumengerti. Menyemburkan asap ke samping kanan karena aku sedang duduk di samping kirinya. Ia menawariku ragu-ragu. Aku hanya menggeleng dengan wajah Heran. Ia tersenyum menatapku. Seolah ingin tahu mengapa aku menolak rokok yang ditawarkan—pemberian pertamanya. Ia tersenyum sendiri. Menertawakan diri sendiri tapi mungkin juga menertawakanku. Aku terbatuk-batuk menghirup asap rokok Vinaamalia. Sekali dua kali. Batukku terus dan terus. Seorang perempuan tua melotot pada Vinaamalia. akhirnya Vinaamalia menyudahi aksi asapnya. Ia lebih dari dua kali berucap maaf. Aku bilang tidak apa-apa. Aku yang terkena asap dengan mudah memaafkan Vinaaamlia. Tapi perempuan tua di sebelah bunga anggrek itu masih menyisakan tatapan marah dan sebal pada Vinaamalia. Dia pasti nenek yang baik pikirku. Aku tersenyum pada nenek dekat anggrek. Senyum perkenalan. Senyum perdamaian—jangan marah pada Vinaamalia.
Kulihat Vinaamalia bercakap-cakap dengan Oma. Vinnaamalia memanggil perempuan itu Oma. Kulihat Oma tak lagi marah pada Vinaamlia. Mereka terlihat sangat Akrab. Vinaamalia tertawa cukup keras. Tertawa bebas seorang perempuan. Tawa merdeka. Aku belum pernah tertawa lepas seperti dia. Aku ingin sekali tertawa seperti itu. Tawa lepas yang melenyapkan ia dari wajah bantal. Mereka bercakap-cakap. Tak lama kemudian datang seorang lelaki berbaju coklat dengan kamera di lehernya. Bersalaman dengan Oma dan Vinaamalia. Mereka bertiga sangat akrab. Aku iri. Aku ingin berkenalan dengan lelaki berbaju Coklat juga Oma. Aku hanya tersenyum dari jarak sekarang. Menulis mereka. Seulas senyum. Seucap kata. Aku jatuh cinta dengan Mereka bertiga.
Vinaamalia merokok lagi. Ia menawari lelaki berbaju coklat. Duduk agak menjauh dari Oma beberapa langkah. Menghindarkan Oma dari Asap mereka. Aku diabaikan. Tak lama kemudian Oma melambaikan tangan. Dengan satu gerakan yang berarti mari berkumpul bersama kami. Aku hanya tersenyum. Menulis lagi gerak tangan Oma. Cara Oma memanggilku sangat akrab. Dengan gerak dan tatap. Tanpa bunyi. Tanpa suara. Serupa konvensi lama yang mungkin juga arbitrer body language.
Vinnamalia seperti tersadar. Ia telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang menurutnya tak boleh diabaikan apalagi dilupakan. Ia menghampiriku. Berkali-kali minta maaf. Aku menghitung permintamaafan Vinaamalia. aku mencatatnya tujuh kali. Aku bilang. Dia sudah tujuh kali minta maaf. Vinaamlia menatapku. Memastikan ucapanku benar-benar aneh dan asing. Aku tersenyum kemudian tertawa mengikuti gaya tertawa yang kudengar tadi. Ah, Vinaamalia minta maaf lagi. Genap delapan kali. Itu standar baik. Semoga Vinaamalia orang baik seperti yang baru kutulis. Setelah menulis demikian. Aku tertawa sendiri. Vinaamalia mempertanyakan tawaku. Aku bilang aku sedang menirukan tawanya…
Aku mencari sesuatu dalam tas ranselku. Aku tak menemukan yang kucari. Aku sedang mencari cermin. Tiba-tiba aku ingin melihat wajahku. Rupa dan wujudku. Di belakang pohon berdaun rimbun ada air. Kolam ikan. Aku segera bergegas menuju kolam. Berdiri tepat di atas—di pinggir—di samping kolam. Menatap bayangku yang bergerak-gerak. Sebuah gerakan serupa ikan. Ikan warna-warni yang tak kutahu namanya. Aku memang tak sedang ingin menikmati ikan. Aku ingin melihat wajahku. Wajah dalam kolam ikan. Wajah yang bergerak-gerak. Wajah penuh beban. Muram. Geram. Kesakitan…
Vinaamalia meneriakan—memanggil sebuah nama. Resmickti. Aku menoleh seolah ia tengah memanggilku. Ia mengajak aku ke galeri. Aku bilang aku sudah mau pulang. Sebenarnya aku belum ingin pulang. Aku hanya ingin menolak ajakan Vinaamalia. Galeri tak jauh dari kolam ikan. Bisa ditempuh tak sampai sepuluh menit dengan berjalan kaki. Akhirnya aku tiba juga di galeri bertulis Vinaamalia. Aku menulis : Ruangan serba hitam. Sebuah lukisan belum selesai. Mungkin tak pernah selesai. Atau sengaja tak diselesaikan. Vinaamalia menyuruhku duduk. Aku duduk tanpa mendebat. Vinaamalia bilang ia ingin melukisku. Aku menolak. Ia tak percaya aku menolak dilukis. Dia bilang aku bercanda. Padahal aku sedang serius. Aku tidak mau dilukis. Aku menuliskan penolakanku dalam buku yang kupegang. Tanpa permisi ia memindahkan buku dari tanganku ke tangannya. Dengan gerakan cepat. Mata yang tajam berkilat-kilat. Keseriusan. Konsentrasi. Tiba-tiba ruangan hening. Diam. Ngeri. Sepi. Hanyut—Vinaamalia melukis seorang gadis berdoa. Dua tangannya merapat ke dada. Terbuka ke atas menghadap langit. Gadis itu nampak tersenyum. Vinaamalia bilang itu aku—Resmickti yang memanjat doa.



Iklan RT



Serupa binari
Tubuhmu awet ayu
Kata-katamu air mancur
Duduk bergaya nyonya Meneer
Bersanding mitra Gatot kaca
Dalam sebuah iklan keluarga
Dua anak lebih baik
Injeksi tiga bulan atau satu strip andalan
Keduanya adalah pilihan
Nyonya yang menentukan
Sebab tuan pelengkap iklan

Piliahan Dewa


Sepi berpisah
Tak berarti pasrah
Dalam keluh kesah
Irama bersalah

Sebesar harap
seterang tampak
di antara sekian
jadi pilihan.

Yang lain terserah
Segala suara bisa diterima.
Semua bunyi akan terdengar

Tapi bukan berarti katanya kata kami.
Tolong dikoreksi
dilihat dengan matahati.

Setiap kali perjumpaan
selalu ada yang telat.
Ia tak banyak negosiasi.
para dewa terlanjur percaya.

Setiap kali pidato
ia tak pernah buat narasi.
Ia hany perlu menggerakan jari
Segala yang diingin segera jadi

Dewa memilihnya
Satu diantara sekian
Suatu hari ia keceplosan
Tentang keterpilihanya.

Pada sebuah mimbar
yang diatur pertemuanya
Yang lain harus mendengarnya
Sebab ia pilihan para dewa
yang tinggal di taman kota.


Minggu, 15 September 2013

Hikayat Di Kemudian Hari

Para mediang bertemu muka
Pada gambar
Mengenakan longtorso dan kebaya warna jingga tua
Warna bunglon
Memudar hilang berganti hitam
Seperti cakrawala
Keinginan dan harapan
Taman bermain
Ada sebuah cermin
Menggelisahkan begitu rupa
Tafsir mimpi
Mereka berjanji akan bertemu di pinggir hutan suatu malam
Mungkin karena itu
Banyak bayangan
Tapi kau belum mati
Malam yang memahami laramu
Tangismu masih tak menghabis
Airmatamu terlalu berat untuk pipimu yang ringan
Dan kau selalu lupa
Duduk manis yang ternyata sebentar saja
Menatap cermin secara lain
Penglihatanmu jatuh
Ngeri melihat wajah pecah
Melanggar ketertiban
Beralih pada pecahan kaca
Cermin yang digantung tinggi-tinggi
Cermin retak
Ada yang memanggil namamu
Dengan ringan ia bersuara
Dalam bahasa tak tertata
Kalian tahu
Langit hitam di luar sana
Bulan di belakang kepala
Meledakan rasa ingin tahu
Seperti jatuh tapi bukan ke bawah
Mereka menyebutnya ibu kota
Rute-rute menuju harapan
Di jalan Jakarta
Kelak kuburan
Orang-orang di trotoar
Bunyi klakson pekak
Sebentar lagi
Semesta hitam
Cahaya lampu-lampu
Masihkah bermakna
Memikirkan apa-apa
Luput dari maut
Ketika bahaya
Kian dekat
Nyala yang lebih terang
Negeri rahasia
Nusantara belum lagi dibayangkan
Matanya membuka
Beralas tanah
Dan bulan itu
Sepasang mata
Sebuah pulau baru
Rakyat datang berkumpul
Hikayat-hikayat lama
Negeri emas
Manusia-manusia primitif
Orang-orang Alifuru
Menari cakalele
Meninggalkan medan perang
Terjun ke kedalaman
Merencanakan sebuah akhir
Genggaman atas tanah
Menghayati pulang
Seperti menerobos masuk ke bawah tanah
Mungkin untuk ketiga kalinya
Tak pernah sampai
Merasai permukaan tanah
Selalu seperti itu
Begitu banyak
Rentetan panjang kalimat menyuruh
Koyak di sepanjang garis tak rapi
Benang merah melayang panjang
Menjelma bayangan
Kembali firasat aneh itu
Mengalir seperti sungai
Jatuh ke tanah
Bau asin samudera
Gambar ikan dan binatang laut
Terdengar tetes air dari keran
Sebuah pagi
Cerita yang nyaris tanpa kejadian apa-apa
Tanpa awal tanpa akhir
Tak ingin memastikan dugaan
Melepas kata antara sapa dan Tanya
Karena ingin percaya
Tak ingin mengira
Yang belum selesai
Seperti tak dimengerti namun diberkahi
Dari kamar masa kecilmu
Terdengar jawaban
Semacam teguran
Tersenyum lebar dengan gigi rapi
Yang lebih membingungkan
Ia yang bertakhta di atas tata
Mereka datang dengan setelan rapi
Memisahkan hati dari kepala
Bersiasat di dalam rapat-rapat
Keluar dengan lesu
Selalu datang satu-satu
Sejenak ada diam
Percakapan yang tak tentu arah
Makan enak, bebas lemak
Tersimpan dalam setiap sel
Apa-apa
Warna-warna
Setengah tak menanti
Bersandar dan berguman
Udara sesak dengan syair-syair
Meninggalkan debu dan aus
Habis
Seperti memecah kode rahasia
Tak jadi putus asa
Tersadar dari sebuah ingin
Sembilan digit sempurna
Bicara tergesa sambil berjalan
Bersyair lalu bersumpah-sumpah
Melepas rasa manis terakhir
Dosa segigitan
Menjulurkan lidah
Dalam alur teratur
Bahasa benak sendiri
Sebuah rasa
Merasa penting
Membuai dengan senang
Aroma hangat
Pagi sempurna
Protesmu
Cahaya lilin pada cermin, mengali lipat jumlah sebenarnya
Entah berapa jumlah mereka
Tampaknya rasional sekali
Refleksimu tampak membesar
Nyatanya tak seberat tampaknya
Berkelebatan cepat seperti selembar selendang
Bayangan mengabur di sekelilingmu
Terjadi demikian cepat
Ada wewangian lain yang tiba-tiba menggenang di udara
Benakmu memusar
Sesaat merasa terpenuhi
Kemudian adalah masa penyangkalan
Dengan bahasa suku dan segala rupa dialek
Hanya ada baku hantam kata-kata
Sesaat menatapnya, sesaat dalam sihir lama
Sebuah wajah di antara wajah-wajah asing
Menatap celah menganga dengan mata ternganga
Berhenti sejenak
Tertawa hampir bahagia
Melangkah dengan senyum aneh di wajah
Ada gembira dalam semua bacaan menyedihkan
Begitu banyak mungkin
Hawa yang telah terpikat pohon pengetahuan
Kebun cengkih di kaki gunung
Terlalu lelah untuk sebuah senyum
Hanya ada suara serangga dan desau angin
Ada kesadaran yang bergerak
Menatap kepastian dalam gerakan terbang
Kunang-kunang pun merahsiakan pergi dan kawinya
Sebelum malam ini berpisah
Beberapa cerita tak berubah
Di dalam hitam matanya
Seulas senyum samar, misterius tak diniatkan
Membawamu jauh menuju angin
Gunung api yang meledak
Rahasia yang ada di semesta
Jika bertemu
Suatu saat di atas tanah
Di bawah bulan
Kau merinding
Lebih dari kehendak kata
Yang datang tiba-tiba
Dan aku seperti sia-sia saja bertanya
Di akhir hari
Mengingatkanku pada cakrawala
Hitam malam telah menelan garisnya
Pergi, mengawali, mengakhiri sendiri
Mengucapkan selamat tinggal
Tersenyum cerah
Jerit pecah di udara
Jerit bayi
Masuk ke dalam tanah
Ke kamar
Mendekati
Menjelma manis rupawan menggemaskan
Seekor fauna hasil fantasi manusia
Bagai akan bicara rahasia
Untuk kehidupan
Sebuah mimpi awal tahun
Naik menerjang ke udara
Mencari tempat teduh
Sebuah ingatan lama
Di sebuah malam
Bintang bukanlah segi lima
Seperti kisah-kisah lain
Kekosongn yang disebut-sebut
Tampak begitu lucu malam ini
Membuai di dada
Firasat datangnya kejatuhan
Mungkin sebuah balas dendam
Hampir akhir tahun
Di tanjung utara pulau itu
Pulau-pulau berjatuhan satu-satu
Waktu panjang bagai tanpa akhir
Seperti ribuan kehidupan
Tak mesti begitu
Sepanjang jalan
Tentang penguakan yang dikiranya
Semua itu lewat
Segalanya terlambat
Takdir yang seperti rangkaian kebetulan adalah bukan
Namun malam selalu terhitam
Semua seperti tertuturkan
Mempertanyakan ketidaklogisan dunia
Seakan ada tombol yang tiba-tiba dinyalakan
Petir pecah bercabang-cabang
Seperti ingin menggapai
Perihal perasaan-pikiran-kata
Apa-apa tentang yang dicintai
Paradox tak manis membingungkan
Seperti iblis yang mesti di surga
Menuntaskan sebuah takdir
Segala yang rumit menjelma sederhana
Tafsir atas tafsir siapa tahu
Karena makna belum mengikuti
Manusia pembaca
Batas-batas mengabur tak jelas
Untuk sebuah dunia
Pada kelopak bunga
Bergerak dalam alur tak jelas
Dalam cerita ini
Apalah arti orang dan bukan orang
Barisan pohon tinggi
Sekelompok jamur, semak ilalang
Sebatang kelapa
Bicara dengan suara rendah
Menatap langit
Menjawab apa-apa
Meledak menjadi semesta
Bunyi terdiam
Nun jauh di depan
Dari pelabuhan
Hanya sebuah mungkin dari sekian mungkin
Di dekat cakrawala
Mesti ada mimpi
Sisa embun jatuh bebas ke tanah
Momen membeku dalam sebuah ruang lukisan
Sebuah penglihatan
Hanya ada kau sendiri
Membedakan medan-medan yang kau lewati
Semedan tanah
Jalan-jalan yang telah dibentangkan
Untuk meleluasakan pilihan
Menggeleng dalam gerakan pelan
Mencoba berpaling
Sebelum jatuh
Saling memberi jalan
Dalam gaya yang sama
Melihat apa yang datang
Sebuah dugaan
Menatap tanah dengan bimbang
Secercah cahaya
Mengakhiri sebuah alkisah


Cerpen Suanggi Corel

Oma baru saja mengakhiri sebuah cerita tentang makhluk seram bernama suanggi. Aku tak pernah melihat wujud nyata dari makhluk yang baru saja diceritakan Oma. Bagiku Oma adalah pencerita yang Hebat. Tapi aku tak pernah percaya pada cerita Oma, jika tokoh yang diceritakan Oma bernama Suanggi. Bagiku Suanggi tak pernah ada. Namun malam ini, cerita Oma membuatku tak bisa tidur. Potongan-potongan kalimat Oma membuatku bergidik. Kalimat Oma terus terngiang sejak saat itu, aku sering mengendap-endap tengah malam mengintip kamar mama. Aku ingin membuktikan bahwa cerita Oma salah. Mama tak pernah menjelma Suanggi. Tapi sekarang, justru mama yang mencurigai aku macam-macam. Mama bilang sikapku aneh, dan terbongkarlah segala misi rahasiaku menguntit gerak gerik mama. Akhirnya mimpi menelantarkanku pada pagi yang murung, mama menangkap basah aku saat mengintip lewat celah kunci pintu kamarnya. Mulai saat itu sikap mama agak berubah. Ia tak lagi bangun pagi untuk membuatkan aku kopi atau secangkir susu cokelat. Padahal sebelumnya mama selalu bangun lebih awal. ‘’ apa kamu mencurigai sesuatu?’’ Aku menggeleng ‘’Apa yang ingin kamu ketahui, Mia?’’ Aku menggeleng lagi ‘’Kamu percaya cerita Oma?’’ ‘’Maaf ma…‘’ Aku mengakhiri percakapan kala itu dengan kata maaf. Tapi, sepertinya mama masih marah. Sekarang aku sedang memikirkan bagaimana cara minta maaf pada mama agar mama kembali bersikap seperti biasanya. Tapi aku belum melakukan dengan sungguh-sungguh. Mama tak bicara, aku juga memilih diam. Sebenarnya aku tak ingin membesar-besarkan masalah tersebut. Aku tak ingin Oma dan mama berseteru panjang. Aku berusaha menghubungi Rara dan Syahdi, teman kelasku di di Global Tekno. Mungkin mereka bisa membantu menjernihkan masalahku. Tapi telah berkali-kali kuhubungi keduanya namun belum ada respon. Mungkin mereka sedang sibuk mengerjakan tugas dari Instruktur Mina. Sekarang memang bukan saat yang tepat untuk minta pertolongan mereka. Perasaan bersalah benar-benar menikamku. Mimpi tentang makluk suanggi benar-benar terasa nyata. Saat ini aku hanya tahu, aku ingin menangis, berteriak keras, rasanya sesak sekali untuk sekedar bernafas, seolah-olah semua organ dalamku hendak keluar merobek dada. Aku Telah berburuk sangka pada mama. Berimajinasi aneh-aneh, memikirkan mimpi-mimpi buruk. Padahal aku harus segera menggarap tugas yang diberikan Instruktur Mina. Aku bermimpi lagi. Dua ekor kucing baru saja terlindas mobil penumpang dari arah Selatan. Tubuh kedua kucing yang muncul dalam mimpi semalam remuk. Aroma darah mamalia itu masih melayang-layang dalam ruang kamarku. Ruang yang sesak dengan buku-buku komik dan sederet kisah detektif itu tambah apek dan pengap. Padahal aku harus menyelesaikan tugas akhir semester. Seharusnya aku menikmati tugas yang satu ini. Tugas dari Instruktur Mina untuk materi Desain Grafis, menciptakn wajah tokoh Antagonis dan protagonis dengan program Corel Draw X4. Tapi suasana kamar dan hatiku sungguh tak stabil. Namun dua hari lagi harus sudah rampung dan sudah harus disetor pada sang Instruktur. Saat aku baru menyalakan komputer. Kalimat Oma terngiang-ngiang lagi. Berdesak-desak dengan kalimat-kalimat lain dalam benak. Namun sekalimat singkat menjelma dalam doa : Semoga mama sudah tidak marah lagi. Suatu malam, Oma keluar membanting pintu kamar. Aku belum pernah melihat Oma semarah itu. Oma dan mama telah berubah. Aku seperti kehilangan sosok keduanya yang ramah dan santun. Meskipun keduannya kadang-kadang terkesan cerewet saat menasehatiku, tapi kebanyakan apa yang diucapakan keduannya benar dan penuh muatan kebaikan. Kecuali saat Oma berkisah tentang suanggi. Sewaktu aku kecil, aku selalu suka gaya cerita oma, namun saat Oma mulai mengaitkan suanggi dengan mama aku jadi malas mendengar cerita oma. Imaji kanak-kanakku berontak saat dipaksa menerima cerita yang tak masuk akal Oma. Cerita Oma selama ini tidak hanya menakut-nakuti aku agar tidak keluar malam. Namun ada maksud tertentu dibalik cerita oma, tentang dongeng mitos dan sekian legenda tentang suanggi. Makluk misterius yang hanya kudegar tanpa pernah kulihat wujudnya, kecuali dalam mimpi. Mimpi seram yang muncul berkali-kali itu, selalu ada wajah Oma, wajah mama berubah menyerupai mahkluk aneh seperti cerita Oma. Tapi dalam mimpi itu terasa lebih menyeramkan. Menurut Oma, suanggi adalah mahkluk paling rakus. Mahkluk yang tidak akan pernah merasa puas. Mahkluk yang terus menerus memelihara ketamakan yang tak masuk akal. Aku benar-banar ngeri membayangkan wujud dan karakter suanggi. Tiba-tiba Aku ingin sekali lagi mendengar cerita oma. Mencari detil-detil yang terlupakan. Oma terkejut saat aku minta Oma menceritakan kisah itu, namun ia senang karena aku mau mendengar ceritanya. Mendengar potongan-potongan kalimat Oma aku mencoba mengingat-ingat malam-malam seram itu. ‘’Mia…kapan kamu mulai bermimpi aneh itu? ‘’ Oma bertanya dengan wajah penasaran. ‘’Oma, itu hanya Mimpi. Mungkin aku terlalu lelah. sudahlah Oma kita tidak akan membahas soal ini lagi’’ Balasku. Aku ingin menyudahi obrolanku saat oma mulai menggiring ke wilayah tak masuk akal. Aku menangkap wajah kecewa Oma. Tatapannya kepadaku begitu Aneh, ia seperti mengkhawatirkan Sesuatu . ‘’Itu bukan mimpi biasa Mia…’’ tegas Oma berkali-kali. ‘’Oma ini hanya kebetulan…Sudahlah Oma’’ ucapku bernada sesal. Sebuah sesal menceritakan mimpi pada Oma Aku baru saja menjalani ritual aneh, mandi dengan kembang sembilan warna. Meminum segelas air yang diberi doa. Mantra aneh yang tak pernah kutahu maknannya. Orang-orang di sekitarku mulai aneh. Mempercayai sesuatu yang tak pernah dilihatnya. Mempercayai sesuatu yang hanya mereka dengar. Kepercayaan tunggal pada seseuatu yang bukan tunggal. Mahkluk rekaan orang-orang terdahulu. Sebenarnya aku tak perlu menyalahkan Oma atau siapa pun, dan tak perlu mencari kambing hitam atas segala kekacauan pikiran dan tindak-tandukku saat ini. Seharusnya aku sudah mampu membedakan mana yang realistis dan mana yang tidak. Hampir dua hari aku tak keluar kamar kecuali mandi dan makan, sesekali membuat susu cokelat atau kopi. Syukurlah rupanya mama sudah tidak marah lagi, saat aku mau keluar kamar membuat susu, tahu-tahu mama sudah di depan pintu dengan segelas susu hangat. Sekian detik mama mematung sambil menatap gambar di layar komputerku, sejumlah gambar organ masih berserakan dalam kotak Shapes Rounded Rectangle. Aku belum menyusun organ–organ itu pada posisi dalam tubuh manusia. Kepala, leher, mata, alis, hidung, telinga, gigi, bibir, lidah, hati, jantung, usus besar-kecil saling lilit-melingkar bersama detil-detil wujud organ lainya. Setelah semua gambar tersebut selesai kubuat, aku akan menyusun pada posisinya. Mama pasti heran aku bisa menggambar sebagus itu. Sebab sejak kecil aku tak begitu tertarik dengan gambar. ‘’Kok kayak tugas biologi, gambar organ?’’ komentar mama. Aku hampir tak mendengar kalimat lisan mama. Beberapa detik lalu aku baru saja menyaksikan peristiwa spektakuler, mama bernafas seperti naga. Api sebesar nyala lilin keluar dari semua indera mama, telinga, mulut, hidung, mata, semua mengeluarkan api dengan kecepatan kilat mendarat di Layar komputer di depanku. Aku mencari api-api itu di antara organ-organ yang berserakan pada layar komputerku. Tapi tidak ada. Ah, jangan-jangan itu hanya halusinasiku saja. Mungkin aku terlalu lelah. Bibirku berucap istigfar tiga kali, prrrannnkkk….. mama menjatuhkan gelas susu hangat yang tadi masih di tangannya. ‘’Ya ampun Mia… gelasnya retak, nanti mama buatkan lagi…’’ ujar mama setelah siuman dari kepatungannya Itu bukan retak ma, tapi pecah. Ucapku belum sempat terlisankan, tiba-tiba bunyi TEK dengan iringan musik nit..nit…nit… menggema dalam ruang kamarku, sebagian cahaya berangsur sirna. Listrik padam. Meskipun tidak benar-benar gelap karena hari telah pagi. Saat menatap layar komputer yang hanya memantulkan wajah sebalku, serasa aku ingin marah pada mama, seolah-olah mama adalah pejabat PLN yang baru saja memadamkan listrik ‘’Barangkali kamu harus istirahat Mia? lihat bulan di matamu’’ ucap mama sambil menatap lingkaran unggu nyaris hitam di mataku, lalu pergi meninggalkanku sendirian. Aku menatap tombol kontrol dan huruf S pada keyboard dengan kebencian yang nyaris tak terbendung. Organ-organ yang kugambar belum sempat kukontrol S sirna bersama sebagian cahaya dalam ruang kamarku. Satu jam kemudian lampu menyala. Baru saja aku menghidupkan komputer di depanku. Mama mengetuk pintu, dengan sangat terpaksa aku berdiri membukakan pintu. Sebab, setelah mama keluar tadi, aku menguncinya dan berharap tak ada yang masuk mengganggu proses kreatifku lagi. ‘’Makasih ma?’’ ucapku sambil menerima segelas susu dan langsung menutup pintu agar mama segera berlalu. Meskipun pintu sudah kututup. Suara mama masih menyita waktuku ‘’Mia, lampu udah menyala?’’ Ucap mama bernada berita Aku udah tahu. ‘’Iya ma ‘’Aku menyahut dari dalam kamar. ‘’Dasar PLN, sedikit-sedikit lampu mati, bagaimana kulkas, komputer, TV nggak cepat rusak…belum lagi tarif yang tiba-tiba melonjak…’’ Suara Mama terdengar seperti sedang demonstrasi pada PLN, tapi mama tidak tahu aku sangat tersiksa mendengar semua itu. Aku tidak bisa konsentrasi. Mau minum susu, asap masih mengepul di permukaan gelas, menandakan susu belum hangat agar bisa sekali teguk tuntas. Saat kubuka file, pada lembar elektronik di depanku, aku hanya menatap selingkar bulat calon kepala, yang lain lenyap. Kali ini aku harus bekerja ekstra keras plus teliti dan sabar, agar bisa menghasilkan gambar yang diinginkan sang Instruktur tempat aku kursus. Beberapa menit kemudian energi panas pada segelas susu di depanku telah berkurang, dan aku tergoda menyeruputnya. Tak sampai setengah menit, susu cokelat itu tenggalam dalam kanal lambungku. Aku seperti mendapatkan tenaga baru, entah dari susu cokelat atau dari mana. Tanganku telah menggenggam mouse dengan lincah. Bunyi klik.klik.klik dari mouse terdengar sangat ritmis berkolaborasi dengan hentakan musik Bollywood yang sengaja kuputar untuk merangsang imajinasi otak kiriku. Dua jam telah berlalu. Semua organ telah selesai aku gambar dalam kotak Shapes Rounded Rectangle, semua telah kuberi warna mirip organ asli, kecuali mata…aku berpikir keras membuat warna mata pada tokoh rekaanku. Aku tidak ingin memberi warna merah seperti cerita Oma, aku juga tidak yakin Suanggi bermata merah. Tanganku terus mengklik warna-warna, tekstur, Pattern, Gardient, garis, akhirnya kutemukan warna hijau dengan titik kuning nyaris oranye—warna api. Setelah sekian menit aku menatap sok teliti, jari kelingking dan jari manis kiriku tak lupa menekan tombol control dan S secara bersamaan. Aku bernafas lega. Aku memperbaiki posisi duduk, menaikan volume musik Bollywood hingga seratus persen. Aku tak bermaksud menari ala Bollywood seperti Arjun Rampal dan Preety Zinta dalam Film Dil Hai Tum Hara. Aku masih duduk di depan meja komputer, tapi jiwaku benar-benar menari bersama mereka. Setelah lagu soundtrack Dil Hai Tum Hara, Dil To Pagal Hai, Mujhese Dosti Karoge, tiba-tiba ada suara musik aneh yang menyusup dari pintu kamar. Bunyinya sangat mengganggu, thok… thok… bruuk… bruuk…brraakk… dengan volume yang tak kalah besar dari hentakan musik Bollywood yang tengah kunikmati. Aku menduga siapa pun yang membunyikan musik dari arah pintu itu, pasti tangannya kesakitan. Sungguh musik dari arah pintu itu terdengar seperti hentakan kemarahan. Jika aku tak segera membuka pintu atau mengecilkan volume musik Bollywood. Akan lahir sebuah musik ‘tak diinginkan’ dari perkawinan musik Bollywood dengan alat musik Pintu Karya mama. Aku telah mengecilkan volume musik hingga tiga puluh persen, kini mama menaikan volume siaran wajibnya. “ Mia, ini rumah, bukan hutan, bukan diskotik, kamu pikir pesta muda-mudi, kamu anak gadis, anak perempuan, jaga sopan santunmu….” Ucap mama dari balik pintu kamarku, kemudian berlalu dengan meninggalkan bunyi keras dari pintu. GBrrraaaakkk. Rupanya rasa marah mama yang disebabkan musik Bollywood, lebih besar dari rasa sakit di tangan akibat memukuli pintu kamar yang tak tahu apa-apa. Sepertinya mama masih belum puas, ia kembali mengetuk pintu lagi, namun kali ini lebih berperasaan, ketukan standar seorang ibu membangunkan anaknya. Mungkin tensi kemarahan mama agak turun. Akhirnya aku beranjak membukakan pintu. Saat pintu terbuka aku tak mendapati mama, tapi Oma. ‘’ Mendengar Musik bukan dengan telinga, tapi dengan ini’’ ujar Oma sambil menggerakan tangannya ke arah dada saat berucap ‘ini’. Oma pergi setelah memberi ceramah seni plus rohani yang manis. Yah, itulah Oma, kadang terlihat sangat bijak, kadang cerewet seperti radio rusak, kadang juga diam tak bicara apa-apa. Aku baru saja mengantar tugas ke rumah Instruktur Mina, aku agak sedikit kecewa, sesampai di rumahnya, sang instruktur hanya menyuruhku meletakan hasil print out di atas meja dan menyalin soft file di komputer sang Instruktur. Tak selembar pun tugas yang kukumpul diliriknya. Padahal aku sangat berharap, ada sekalimat singkat untuk tugasku. Misalnya, Tugasmu Keren, Bikin Berapa Hari?. Atau, ini gambar apa? Tokoh berwajah manusia seram, tak bertubuh, hanya kepala plus leher, dengan organ dalam tercerabut, seperti seoker sotong yang ditarik kepalanya. Dengan senang hati aku menjawab. Ini namanya Suanggi Corel, Instruktur. Visualisasi dari donggeng Oma tentang suanggi di Indonesia Timur. Tapi tampaknya aku tak perlu menjawab apa-apa, sebab tak ada pertanyaan atau komentar singkat yang perlu kujawab. Hari ini seperti banyak pagi sebelumnya, praberangkat kursus komputer di Global Tekno, aku menyempatkan membaca harian kota, Malut Post. Sebuah halaman memberi kabar, Rumah kepala Global Tekno, Sutekno Gunawan, di kawasan Tanah Tinggi, dilalap si jago merah. Kebakaran tersebut diperkirakan terjadi pukul pukul 12.00 malam. Malang menimpa, Sutekno Gunawan, ia tidak hanya kehilangan harta benda, namun ia harus kehilangan, isteri tercinta sekaligus salah satu intstruktur Global Tekno, Rusmina Ismail. Dalam insiden tersebut, tidak hanya menyisakan duka bagi Sutekno, namun aroma misterius kejadian naas tersebut masih diburu pihak polres. Salah satu kejanggalan dari peristiwa tersebut adalah tidak ada satu pun harta-benda milik korban terselamatkan. Anehnya, di samping tubuh korban, di temukan sebuah gambar bertajuk “Suanggi Corel” dalam ukuran kertas F4. Kertas tersebut seolah anti air dan api. Untuk sementara polisi masih kesulitan menghubungi suami korban, yang di duga tengah keluar kota sejak tiga hari lalu…