Minggu, 05 Agustus 2018

Puisi

DALAM ORASI

Aku sedang menanti pelajaran berikut
Tentang kemanusiaan dan kesederhanaan
Terkadang aku merasa tamak karena belum bisa memahami arti sederhana
Tapi , dalam pertemuan
Tak henti-henti berceloteh tentang:
Kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati,
Begitu hebat mereka berorasi
Tapi tak pernah menggunakan piring yang sama ketika makan
Tak pernah minum air bersama,
Dalam Orasi mereka peduli
Dalam orasi mereka kembali meneriakan :
kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati
Tapi,
Mari kita sedikit cermat
Tentang bahasa keramat
Rendah hati bukanlah ramah tamah palsu
Apalagi memisahkan hati dan kepala
berorasi tentang nyamannya tikar
Namun tetap tak berpindah dari kasur yang empuk

Wiwik. S

Puisi

TENTANG PAGI DAN SENJA SUATU HARI

Kau tahu rasanya pagi
Bukan sekedar teh manis atau secangkir kopi
Obrolan sepi barangkali misteri
Bukan perkara menebak isi hati
Juga rumitnya benak yang memelas dimengerti
Mari kita hindari perkara ingkar janji
Menyederhanakan kreasi juga apresiasi
Kita belajar saling mengerti
Bukan paling mengerti tuk runtuhkan harga diri
Kau tahu rasanya pagi
Suara burung bukanlah kupu-kupu warna-warni
Aku tak memetik mimpi tuk bangunkan tidurmu
Apalagi merajam senja tuk sorakan bahagia lalu
Akhirnya rasa itu jadi milikmu
Tentang rasa takut juga bahagia.
Barangkali kau ingin jadi pelagi
Melengkung bahagia dalam rintik dan tatap gerimis
Aku tak lebih dari sepasang mata yang menatap bahagia pada setiap lengkung kebaikanmu.
Kau tahu kekagumanku bukan sekedar warna warni pelangi.
Tapi juga awan di matamu
Yang memutih bahkan menghitam sekali pun
Terkadang aku masih ragu kau mengerti semua ini
Tapi untukmu sebuah puisi bukanlah perkara aksara
Ia bisa saja sebongkah awan putih yang menuju langit sanubari

Wiwik.S

Rabu, 01 Agustus 2018

Rumbata

Belajar merapikan Buku Sekaligus Meningkatkan Minat Baca.





Usai belajar dan selesai membaca, atau sekedar melihat-lihat buku di Rumbata (Rumah Baca Kalumata), buku tak lagi rapi seperti sediakala. Meski sudah seringkali dingatkan oleh para pendar, anak-anak tetaplah anak-anak yang harus ekstra sabar untuk menyadari setiap tingkah polah mereka.
Beberapa hal untuk membiasakan meletakan atau merapikan buku pada anak-anak usia rata-rata 4,6,7 hingga10 tahun,Rumbata berupaya menyampaikan pengetahuan tersebut melalui bermain peran dan lain-lain. Dengan bermain peran dan menganggap segala aktifitas adalah dunia bermain, setiap aktivitas terasa tampak menyenangkan. Meskipun butuh waktu yang lama untuk membiasakan disiplin, bertanggung jawab dan bekerja sama, namun kami yakin setiap pengetahuan yang ditanam sejak dini akan menjadi dasar bagi setiap anak untuk masa depan mereka.
Pada awalnya anak-anak dilatih untuk mengambil sebuah atau dua buah buku, setelah melihat isi buku beberapa menit kemudian diminta mengembalikan di tempat semula, sesuai dengan posisi awal. Tak menunggu waktu lama semua anak meletakan buku di tempat semula, namun beberapa anak belum meletakan secara tepat. Permainan tak berhenti sampai di situ. Sebab dari 12 anak hanya 3 yang mampu mengingat judul buku yang baru diambilnya.
Selanjutnya, anak-anak diminta mengambil buku lebih dari dua untuk melihat atau mengidentifikasi judul buku,nama penulis,dan penerbit.
Dengan kemasan bermain, membaca buku diharapkan menjadi aktivitas yang tidak hanya menarik bagi anak tetapi juga keharusan.
Untuk melatih sikap disiplin dan tangggung jawab, anak-anak akan diminta untuk merapikan ruang baca, bagi dua orang yang datang paling belakang.
Berhubung mereka saling berebut jadwal membaca doa belajar dan doa pulang meski telah dijadwalkan, maka anak yang datang paling awal mendapat perioritas membaca doa untuk menggatikan sang pembaca doa yang belum sempat hadir.
Selain kegiatan membaca, Rumbata mulai membiasakan anak-anak mengenal buku melalui judul, penulis, dan penerbit dan cara menemukannya dengan mudah. Beberapa anak yang mulai menikmati sesi ini akan akan mulai bertanya tentang: apa itu penerbit? Apa itu editor dan penyunting?
Dengan pertanyaan sederhana tersebut, anak-anak diajak mengenal buku dan membaca sejak dini.
Mengenalkan anak-anak tentang Penulis, judul, Penerbit, Penyunting/editor dll sangatlah penting, sehingga anak-anak dapat menghargai sebuah buku/karya dengan bekal pengetahuan dasar tersebut.
#membaca itu menyenangkan
#bahagia itu ketika utuh tak lagi satu dan terbelah tak berarti dua.
#evaluasi tahunan Rumbata

Selasa, 31 Juli 2018

Membaca Karya sastra

Membaca” Hujan di Tagalaya, karya Rajif Duchlun” Membaca Halmahera : Sebuah Tafsir Bebas
Oleh : Wiwik Sriwiningsih



Karya sastra lahir dari kegelisah penulis. Tidak terkecuali novel “ Hujan di Tagalaya” yang merupakan karya Rajif Duchlun. Karya sastra yang merupakan miniatur kehidupun sangat dipengaruhi sosiokultur penulisnya. Membaca “Hujan Di Tagalaya” yang selanjutnya di sebut HDT secara utuh, kita akan selalu menemukan pola dasar pada setiap penulisan novel dan cerpen. Yakni dalam menulis novel dan cerpen selalu berangkat dari plot atau karakter. Beberapa hal yang menarik dari HDT adalah bahasa yang mengalir, alur yang menarik sehingga seseorang tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dari sekian unsur instrinsik karya sastra, HDT secara dominan menonjolkan alur dan pesan sekaligus berusaha menonjolkan setting (latar sosial dan latar waktu)
Secara Ekstrinsik, Halmahera Barat digambarkan berdasarkan imaji penulisnya, membaca HDT , kita diajak menyelami berbagai persoalan kompleks Halbar 30 hingga 50 tahun silam, tentang cinta dan sengketa tanah dalam berbagai dalih dan tipu muslihat. HDT berupaya memberi pemahaman kepada kita bagaimana persoalan hidup bisa nampak sederhana atau sesuatu hal yang nampak rumit. Bahkan HDT, berupaya mengingatkan kita akan persoalan serupa yang menimpa seluruh Halmahera bahkan Indonesia.
Mengangkat latar sosial Halmahera Barat masih menjadi sesuatu yang ’’istimewa’’ dalam sebuah novel, karena jarang dilakukan. Sebuah novel yang merupakan bangunan dari unsur intrinsik dan ekstriksik memaksa kita melihat dari berbagi sisi. Secara bebas, HDT memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pembaca untuk menafsir pesan yang terdapat pada karya sastra. Dalam konteks amanat, HDT menarik untuk dikaji lebih mendalam, ketika menampilkan tokoh sentral yang kemudian mengarahkan pada pembaca untuk menemukan pesan tertentu, sekaligus penggunaan beberapa idiom lokal, sapaan para tokoh, turut mengentalkan latar sosial.
“APRIL, 1964. Halmahera, Tagalaya. Ini anak ketiga yang gagal menjadi besar...’’(hal 1)
“Dua buldoser membabat hutan. Pepohonan kelapa, cengkih dan pala ditebang rata tanah. Orang-orang hanya bisa menyaksikan pekerja-pekerja perusahan itu mengobok-obok lahan perkebunan mereka. Baba, Mamat, dan Odong dari kejauhan hanya bisa memperhatikan mereka dengan dada sesak...”(hal 49)
“gerobak sapi pulang-pergi melewati jalan bertanah. Senja itu pemuda-pemuda Tuada senang menghabiskan waktu di lapangan bola.... hanya ada beberapa lelaki di desa tetangga yang meminum tuak di batas kampung dan yang lainya memetik senar gitar..”(hal 51)
“itu biasa, bung. Fenomena masuknya perusahaanmemang tak jauh dari intrik dan fitnah. Bahkan di daerah lainantar keluarga saling membunuh hanya gara-gara beda pandangan tentang masuknya perusahaan. Ini memang kejahatan terstruktur. Investor adalah jejaring yang rapi...”(hal 68)

Beberapa kutipan di atas, memang belum menyiratkan sacara utuh pesan maupun latar sosial, namun secara sederhana,kepiwaian penulis, HDT mengingat kita akan persoalan serupa, yakni persoalan, pembangunan, tambanga, investor asing dan lain-lain. Pada banyak novel dan cerpen, amanat sebuah cerita biasanya dilekatkan pada tokoh sentral yang protagonis namun hal ini tidak terjadi pada HDT. Dalam penulisan karya sastra, Beberapa kemungkinan bisa terjadi, bagi yang “bernafsu” mengejar intrinsik bisa jadi mengabaikan ekstrensik. Kemudian ketika kita sedikit cermat, HDT berupaya keras mengejar tema,penokohan, dan setting dalam kemasan yang diutuhkan.

Membaca karya sastra adalah sebentuk Apresiasi.