Sabtu, 04 Maret 2017

Guruku Pemarah


cerpen :Wiwik Sriwiningsih

Aku tidak tahu, kenapa banyak teman yang menyukai ibu Mal, padahal ia seorang yang sangat keras. Contohnya pagi ini, ia benar-benar menerapkan sifat kerasnya. Aku dipaksa menulis satu lembar HVS. Jangankan satu lembar, satu paragraf saja aku kewalahan. Jari-jariku rasanya mau putus, kepalaku ingin meledak. Ia menjelaskan pelajaran hari ini tetang kalimat efektif. Ia terus menceramahi teman-temanku sambil menampilkan slide-slide yang telah ia rancang bertahun-tahun. Aku sudah sangat lelah, tapi ibu Mal terus menatapku. Seolah-olah jika aku tidak menyelesaikan tulisanku hari ini besok akan kiamat.
Tidak selesai, tidak bisa keluar main, ujar ibu Mal dengan mimik sok kuasanya.
Bisa saya lanjutkan besok bu, aku berusaha melakukan negosiasi.
Jika tidak sanggup, tulis saja nama orangtuamu dan nomor ponselnya, ibu akan menghubungi mereka untuk menyelesaikan tugasmu.
Aku menelan ludah. Aku benar-benar ingin marah, dan berlari keluar kelas. Aku paling tidak suka diancam seperti itu.
Ibu boleh memukul saya, dimana saja. Tapi saya tidak mau menulis sebanyak itu. Aku berusaha melakukan negosiasi lagi.
Aku seperti menyaksikan seekor Harimau melompat ke arahku. Membawa selembar kertas dan pena. Tulis nomor ponsel orang tua, bentak ibu Mal tak terkendali.
Entah kenapa, hari ini aku tidak merasa takut mengahadapi ibu Mal yang bersuara besar, aku hanya takut kepada kepala sekolah, ibu Muna dan pak Robin yang tak bernah melepaskan penggaris besi di tangannya. Salah satu kelemahan ibu Mal adalah ia tidak pernah bisa memukul muridnya dengan benda apa pun apalagi dengan tangannya. Aku benar-benar ingin meruntuhkan prinsip angkunya itu. Ia seorang pemarah pasti tidak bisa menahan diri untuk memukul muridnya pada kondisi seperti itu.
Baiklah bu, aku akan menyelesaikannya, sahutku menetralisir keadaan. Aku sengaja mengulur waktu ibu Mal agar tak perlu menelpon orang tuaku.
Ibu Mal tak pernah main-main dengan ancamannya. Dua hari lalu ibu Mal benar-benar mendatangi orang tua Syahdan yang rumahnya sangat jauh dari tempat tinggal ibu Mal, bagaimana jika ibu Mal benar-benar datang kerumahku. Bisa-bisa mama marah dan memukuliku, yang lebih parah lagi aku tidak akan mendapat uang jajan. Ibu Mal memang guru yang jahat. Aku tak suka padanya. Aku terus memikirkan cara agar membuat ibu Mal marah dan memukulku, jika ibu Mal sampai memukulku. Aku punya kesempatan untuk mengatakan di depan teman-teman bahwa ibu Mal adalah guru yang jahat, perkataannya tidak bisa dijadikan panutan. Semua siswa yang terlambat diberi hukuman menulis satu lembar bermejakan dinding atau duduk bersila di lantai tanpa pengalas. Semua orang mengumpulkan tulisannya kecuali aku dan Syahdan. Tapi, Syahdan sudah hampir selesai, sebenarnya teman-temanku yang enam orang juga tidak suka Bahasa Indonesia dan Ibu Mal, tapi mereka berusaha menyelesaikan tugas mereka. Saat Syadan siswa paling malas di kelasku mengumpulkan tulisanya, ibu Mal menatapku dengan kilatan meremehkan.
Tiba-tiba bel berbunyi, semua siswa keluar main kecuali aku. Teman-teman keluar dengan riang, pemandangan itu sangat menyiksaku, belum lagi mereka menjulurkan lidah mengejekku.
Jika ingin menyerah, berhentilah sekarang, kamu punya banyak pilihan?
Ibu, bisa ganti tema?
Tema apa maksudmu, waktumu tidak banyak.
Saya ingin menulis tentang ibu,
Ibu Mal sepertinya terkejut, tapi ia menyetujuinya
Menulis aktivitasmu saja tidak bisa, mau menulis tentang ibu. Terserah kamu saja
Aku tersenyum dan mulai menulis,
Untuk ibu Mal, ibu sudah bagus mengajarnya. Tapi ibu selalu memarahi siswa yang ribut, sebaiknya ibu tidak marah-marah. Karena kalau ibu marah-marah kami tidak bisa konsentrasi. Jika ibu marah, suara ibu sangat besar dan terpaksa kami harus mendengarnya. Tahukah ibu? Kami ingin ibu mengajar sambil tersenyum dan tidak bersuara keras, tapi ibu hanya tersenyum sebentar lalu marah lagi ketika para siswa bercerita saat belajar berlangsung. Saya hanya ingin ibu tidak marah-marah. Karena saya tidak suka kalau ibu marah-marah. Ibu juga suka mempermasalahkan hal sepele, seperti penulisan “yang kami singkat yg” ibu juga mempermasalahkan titik, koma dan lain-lain yang tak masuk akal. Menurutku ibu hanya mencari-cari kesalahan kami. Ibu tahu saya tidak suka menulis dan membaca puisi, tapi ibu tetap memberi hukuman menulis dan baca puisi jika ada siswa yang terlambat dan tidak buat PR. Ibu sungguh keterlaluan, ibu memberi PR sangat banyak. Kami lelah mencatat… sebaiknya ibu jangan memberi PR dan tugas yang terlalu banyak. Tahukah ibu, kami tidak hanya mengerjakan PR ibu, tapi juga pelajaran lain, jadi tolong jang berikan PR yang terlalu banyak. Dan tolong kalau mengajar ibu jangan marah-marah. Saya tidak suka kalau ibu marah-marah. Jika kami ribut atau terlambat ibu bisa memukul kami dan masalah selesai. Tapi ibu selalu cari Alasan bahwa ibu tidak memukul siswa, yang harus dipukul adalah kuda dan sapi, itu pun tidak boleh terlalu sering. Saya kira ibu hanya cari-cari alasan. Agar bisa memarahi kami setiap hari
Setelah sepuluh menit akhirnya aku menyelesaikan hukumanku. Ibu Mal tak percaya aku bisa menulis sepuluh menit satu lembar. Aku menyerahkan tulisanku dan ingin keluar main. Tapi ibu Mal segera memanggilku.
Baca! perintahnya.
Apa! Aku benar-benar terkejut. Aku malu dan takut membacanya. Tapi aku sudah lapar dan ingin jajan. Aku mulai membaca dengan pelan.
Ulang, ujar Ibu Mal yang berarti memintaku untuk membesarkan suaraku.
Emosiku tersulut oleh rasa lapar dan penindasan. Aku membaca dengan suara keras, lebih keras dari suara ibu Mal saat marah. Semua teman-teman berkumpul ke arahku seoalah aku sedang latihan akting teater. Setelah selesai membaca, aku menyerahkan kembali dengan rasa puas dan bahagia…
Sudah puas? terimaksih telah menjalani sanksi dengan baik, komentar ibu Mal sambil tersenyum
Aku tersenyum sambil menunduk. Tapi yang membuatku aneh adalah, seharusnya ia marah. Minimal berwajah asam. Aku sangat ingin melihat wajahnya asam karena tersinggung.Aku telah mengkritik habis-habisan. Aku mempermalukannya di depan murid-murid. Ibu Mal yang Malang, ujarku dalam hati.
Ibu Mal keluar kelas sambil tersenyum seolah ia telah memecahkan kode rahasia kutukan kotak Pandora. Namun masalah tak selesai sampai di situ, duplikat ibu Mal menghampiriku, Zahra si cerpenis kelas XB kesayangan ibu Mal.
Caramu mengkritik , menjelaskan karakter, tandus dan dangkal pemikiran sesorang, tegur Zahra menirukan gaya ibu Mal.


Biodata Penulis:
Wiwik Sriwiningsih, dilahirkan di Kao, Maluku Utara, 1984. Menulis Puisi, cerpen (antologi Mimpi Sebutir Pasir) dan novel (Biru Laut) perempuan yang akrab disapa Wiwik ini. Bergiat di Sanggar dan Komunitas Seni. Mengikuti Festival Nasional Teater Tradisional di Jakarta, sebagai Sutradara/ Penulis Naskah, 2014, workshop/bengkel Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA): penulisan Novel (2011), di Bogor dan Residensi Masyarakat Indonesia Cipta (MIC) 2012, di Depok. Mendapatkan Anugerah Kebahasaan kategori tokoh sastra dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara, (2015). Turut menggiatkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), melalui aktivitas baca: puisi bercerita, mendongeng dan berteater bersama siswa di sekolahnya, serta melakukan pendampingan belajar (Pendar) di NBCL dan beberapa komunitas literasi di Maluku Utara. Kini mengajar Seni Budaya di SMP Alkhairaat Ternate. Sampai detik ini, ia bergiat, belajar dan terus menjajal menulis naskah drama dan skrip film sebagai bentuk kecintaan pada dunia kepenulisan.
Email: wiwik_sriwiningsih@yahoo.com
Facebook: Wiwik Sriwiningsih
Twitter: @SriwiningsihWS