Kamis, 14 November 2019

Kopi dan Perempuan Cenayang


Membaca kembali antologi puisi perempuan cenayang hasil pergualantan emosi , penemuan rasa dalam olahan imaji Marjorie S Amal, seperti menikmati secangkir kopi. Sekali teguk kita bisa menemukan sensasi rasa pahit sekaligus manis yang tercerap dalam renung yang tak biasa. Tak bermaksud membedah atau pun menelaah, sebab kedua hal tersebut membutuhkan sekian rujukan dan teori untuk mengupas segala sisi hingga menemukan sebuah esensi puisi.
Saya membacanya sambil menikmati secangkir kopi, melepaskan segala pisau teori agar tak terbebani segala “hegemoni konvensional para pakar” (barangkali memang saya yang awam dengan teori sastra). Membaca bebas antologi puisi perempuan cenayang (selanjutnya disingkat APPC) seperti merasakan menjadi perempuan yang penuh cinta ,sekaligus menggugat tempat yang telah dikontruksi dalam waktu tak terbatas.
Sekali lagi, saya membaca APPC dalam tafsir bebas, sebagaimana yang saya pahami, karya sastra yang sama, bila dibaca pada masa yang berbeda akan melahirkan presepsi yang berbeda. Secara utuh APPC membelah diri dalam empat tema: Perempuan, cinta, tempat dan waktu. Meskipun secara totalitas empat hal tersebut masih berada di bawah payung besar perempuan.
Pada lembaran pertama antologi ini, kita dibawa pada sosok perempuan bernama ibu”aku mencintai ibuku”hal.3, dengan segenap narasi dan metafora puisi ini selalu berusahan mengutuhkan antara perempuan dan cinta. Ketika perempuan adalah seorang anak, ketika perempuan adalah isteri, ketika perempuan adalah ibu ia tetaplah mahkluk yang dipenuhi cinta dengan segala warnanya. Kemudian ditutup dengan “suara tengah malam” yang berupaya memisahkan diri dari tema perempuan yakni berbicara soal waktu. Meskipun puisi terakhir dalam APPC berkutat tentang waktu tapi belum bisa lepas dari nuansa perempuan atau barangkali setiap penulis perempuan selalu punya warna” feminis” dalam setiap tulisannya. “suara tengah malam” sekalipun berbicara perihal yang dialami si aku lirik dalam rentang waktu kenang,tetap saja menyiratkan nada perempuan dalam bait-bait alur :

“suara tengah malam”
Ada suara di lantai bawah
Tapi tak kukenali suara itu
Seperti rintihan,tercekat
Menangisi yang hilang

Kususuri tangga hingga kebawah
tak ada sesiapa hanya kusiur angin
…..(hal 97)
Sebagaimana puisi, APPC penuh metafora sekaligus diksi yang tak biasa. Namun demikian dari 72 puisi yang yang terdapat pada APPC dipetakan dalam empat tema merupakan olah pikir, rasa dan imajinasi pada empat masa, yakni :
2016,(jangan sebut kami jalang gadis berambut api, sang perempuan, lelaki tanta tarung, untukmu anaku, analekta pagi, reuni hati, sepatu rajutmu yang pertama,pinanglah aku, aku tak suka bungga dan ranjangmu,memburu kenang,memesrai maut, menunggu, bila, di penghujung)
2017(perempuan cenayang, namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa),
2018(aku mencintai ibuku,rahasia, apa yang kau tahu tentangku, jerat, mungkin saja, kami yang menjadi asing, panas mimpi, melukismu dari balik jendela, perihal senyummu,petani kopra, pantai werdha, di atas kursi roda,biru, karma, seandainya,metamorphosis,Pigura,)
2019(usai, wanita di pekarangan bapak, karnaval negeri la la, di dapur, di bawah payung, tentang mimpi, api unngun, bulan usai, doa, suara tengah malam).
Dengan kesadaran sekaligus penasaran yang menggelitik saya berupaya memilah setiap puisi ke dalam empat masa, dengan harapan menemukan,memudahkan saya dalam memahami materi teks pada lembar-lembar APPC. Kemudian saya kembali disibukan dengan sekalimat singkat dalam nada Tanya: apa yang saya temukan? ketika mengurutkan, lebih tepatnya memilah puisi berdasarkan masa terciptanya sebuah karya sastra. Ya, untuk menjawab soal tersebut, nampaknya saya perlu secangkir kopi yang kental, pekat dan sedikit gula (intermeso…)
Perempuan cenayang “lahir” pada 2017 bersama dengan “namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa”.
Sekali lagi, saya hanya membaca kemudian merasakan dimensi ruang, waktu, suasana dalam perangkap metafora, diksi yang lebih kental, sesekali menemukan diri dalam idiom lokal yang disematkan dengan rapi jauh dari tempelan.
“perempuan cenayang ”

Aku datang padanya di senja beraroma magis
Perempuan berambut perak, bermata sekelam karang hitam
Kulit sepucat bola Kristal
Suarannya mengangkangi angin

Waktu pun menggantung saat pendulumnya bergerak
Kanan kiri,tik tak,antara pelipis dan pangkal alis berdenting, berderau
Magnet mataku hanyutkan sadarku
Hening, bening, cahaya kian tirus menepi
“aku tahu ada luka menganga pada jantungmu”
Perempuan itu membelah dadaku, menghitung luka dan bilur kecil
Yang bergerak naik turun antara dada dan perutku
Singgah ke ubun-ubun, otak dan kembali ke sarangnya hati
Manteranya mengalun berteriak mengalun beriak mencipta ombak
Bergemuruh meledakan rumah kaca
Pecah dan segenap mata angin
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit. (perempuan cenayang, hal.9)
Ada banyak hal yang menarik pada perempuan cenayang, selayaknya puisi yang menawan sudah tentu pada perempuan cenayang kental akan metafora dan diksi yang mengutuhkan pesan sebuah teks. Membaca perempuan cenayang, dalam waktu yang sama kita menemukan makna konotasi sekaligus denotasi dalam metafora yang konsisten. Sehingga gagasan dasar sebuah teks terangkai rapi dalam kemasan puisi bergaya naratif. Secara konotatif kita menemukan makna dalam baris-baris yang tak terpisahkan. Ketika perempuan cenayang dibaca secara utuh tanpa membelah baris dan bait memberi interpretasi tentang dua sosok perempuan yang dihadapkan pada konflik batin. Dua sosok perempuan dalam puisi di atas hanyalah medium,simbol, sekaligus petanda untuk menyampaikan pesan bagaimana dua perempuan saling mengenal, memahami tanpa batas. Atau sengaja memberi impresi bahwa hanya perempuanlah memahami dirinya. Tak hanya sebatas itu, secara tersirat perempuan cenayang memberi interpretasi kedalaman batin tentang aspek religi yang terbangaun pada setiap baris dan bait. Kedalaman religiositas yang dibangun mencakup aspek lain yakni pada fase tertentu tempat kemabalinya manusia adalah hatinya.
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit