Senin, 29 Agustus 2016

Air Bersih, Lingkungan Sehat, Masa Depan Terjamin



Tulisan: Nurul Qamariah
Siswa SMP Alkhairaat Ternate .


Setiap manusia mempunyai kewajiban menjaga lingkungan, terutama menjaga kebersihan. jika mau menjaga kebersihan, pasti tidak lepas dari air. Contohnya: cuci piring, pasti memakai air. Berbicara soal air, pasti banyak sekali masalah seputar air. Contohnya beberapa tahun belakangan ini, pasokan air di belahan dunia tidak terkecuali Maluku Utara(Ternate) semakin berkurang jumlahnya. Beberapa pekan lalu Ternate Utara kelurahan Akehuda mengalami kekurangan sehingga mereka melakukan demo di depan kantor PDAM. Agar perusahaan daerah tersebut memperhatikan kebutuhan air di kelurahan tersebut.
Termasuk kelurahan Maliaro, dimana tempat saya tinggal. Setiap hari hanya sekali air mengalir. Karena pasokan air yang semakin berkurang, saya juga harus mengurangi pemakaian air yang berlebihan. Bahkan, untuk mendapatkan air butuh perjuangan besar. Menjaga air semalaman dan menampung air setiap pagi adalah kebiasaan yang diterapkan keluarga saya. Masalah air ini bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Secara umum, 75% alam semesta ini terdiri dari air. Bukan hanya itu, 90% tubuh kita berisi air. Jadi, tidak ada salahnya jika kita menjaga kebersihan demi tidak tercemarnya air. Dari permasalahan air ini, ada beberapa cara agar air tidak tercemar dan hemat bila memakainya, yang sedang saya terapkan di keluarga saya, yaitu sebagai berikut:
1.Memakai air seperlunya
2.Jauhkan air bersih dari benda-benda yang membuatnya kotor
3.Mengolah air sekreatif mungkin.
Dari 3 cara tadi semoga saja dapat membantu, cara tersebut juga saya terapkan di sekolah. Sebagai pemimpin kelas yang bertanggung jawab, saya selalu mengingatkan teman-teman kelas agar hemat bila memakai air. Contoh kecil saja: ketika tugas piket cuci piring, saya berusaha selalu mengingatkan mereka agar hemat memakai air. Seringkali saya melihat kran yang masih mengalir airnya. Karena perhatian yang berkurang, air itu dibiarkan mengalir begitu saja.
. Tak sedikit dari kita yang mengabaikan lingkungan. Apakah kita tidak berpikir? Bahwa masih banyak sekali orang diluar sana yang membutuhkan air, terutama air bersih. Permasalahan air ini, semakin lama semakin meluas. Tentunya hal ini menyengsarakan rakyat dan menghalangi adanya kesejahteraan.
Masalah ini juga dikarenakan minimnya perhatian pemerintah, dan minimnya pasokan air di Indonesia. Ada banyak sekali hal yang menurut saya seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, terutama air bersih yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tak ada salahnya jika saya mengatakan hal ini, karena sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Bayangkan saja, di daerah Jawa. Hampir tidak ada setetes pun air bersih, ditambah lagi hujan yang jarang mengguyuri daerah Jawa.
Berbagai penyakit bisa saja timbul, karena adanya bibit-bibit penyakit didalam air. Air hujan, masih menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat. Padahal, air hujan adalah satu-satunya sumber air dimasa depan. Dimasa dimana tidak ada lagi sumber air, biasanya saya dan keluarga memperbiasakan menampung air hujan ketika hujan tiba.
Pekerjaan juga sangat bergantung pada air, apapun pekerjaannya. Mau cuci piring, cuci baju, mandi, wudhu dan lain-lainnya adalah pekerjaan yang tidak lepas dari air. Bayangkan saja, jika tidak ada air didunia ini. Mungkin saja, manusia, hewan, dan tumbuhan sudah punah sejak beberapa tahun silam.
Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat saya simpulkan. Bahwa, pemerintah juga berpengaruh dalam masalah air ini. Dan berdasarkan fakta, pekerjaan apapun itu, tak lepas dari air. Memakai air seperlunya, jauhkan air bersih dari benda-benda yang membuatnya kotor, menampung air hujan ketika hujan turun, dan mengolah air sekreatif mungkin adalah hal yang perlu diingat. Itulah cara mengatasi permasalahan air ini. Dengan begitu, air bersih, lingkungan sehat, masa depan terjamin.

Generasi Leger



Rasanya sudah lama sekali saya tidak duduk bersama-sama dengan kawan-kawan di Leger, meskipun sebelumnya saya juga hanya sesekali duduk di leger, namun kebiasaan itu sadah sangat lama saya tinggalkan. Mungkin bagi tema-teman yang bukan berasal dari Maluku Utara, kata leger terdengar asing dan tak biasa. Namun tidak demikian halnya bagi anak muda di Maluku Utara. Meraka sangat akrab dengan istilah leger.
Leger adalah sebuah tempat nongkrong para kaum muda, yang kebanyakan adalah kaum cowok namun ada juga kaum cewek tapi jumlahnya lebih kecil. Leger biasanya berada pada perempatan jalan yang sengaja dibangun oleh kaum muda untuk berkumpul dan mengobrolkan apa saja. Di Maluku Utara khususnya Ternate, hampir setiap kampung/kelurahan memiliki leger bahkan bisa dibilang setiap RW atau RT memiliki sebuah leger.
Julukan anak leger biasanya disematkan pada anak muda yang sering nonkrong di leger. Bagi saya, leger sebenarnya sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melakukan obrolan dengan kawan-kawan. Saya berpendapat demikian karena beberapa alasan. Pertama, leger biasanya dibangun bersama-sama (gotong royong) oleh warga setempat khususnya pemuda dengan tujuan sebagai tempat duduk atau tempat istirahat sambil mengobrolkan apa saja. Kedua, leger adalah tempat terbuka yang memungkinkan siapa saja untuk melakukan aktivitas pada malam maupun siang hari tanpa dipungut biaya, sebab leger adalah milik bersama. Ketiga, dengan adanya leger memungkin para kaum muda lebih sering bertemu untuk membicarakan ide-ide kreatif mereka.
Selain ketiga hal tersebut, leger sebenarnya juga berfungsi sebagai pos kamling bagi warga setempat, sebab beberapa leger terlihat masih beraktivitas hingga larut malam bahkan ada yang sampai pagi. Setahu saya hanya para hansip yang tidak tidur semalaman demi menjaga keamanan warga. Oleh karena itu, para pemuda leger sebenarnya telah bertindak sebagai penjaga keamanan yang bertugas dengan sukarela (tanpa beban atau embel-embel kewajiban warga negara).
Beberapa aktifitas yang sering saya jumpai di setiap leger adalah para pemuda seringkali mengobrolkan apasaja, mulai masalah remeh-remeh hingga masalah serius seperti perbincangan politik dan seni. Tentu saja terkait mutu sebuah obrolan sangat tergantung siapa saja yang terlibat dalam obrolan tersebut. Sekali lagi, itulah menariknya pemuda leger, di leger itulah siapa saja bisa mengobrolkan apasaja tanpa takut salah ataupun merasa bersalah. Dalam sebuah obrolan di leger segalanya mengalir begitu saja. Obrolan bisa saja dimulai dari si A baru putus dengan si C, isteri G berselingkuh dengan N, atau harga cabe lebih mahal dari harga daging, namun akhir dari kisah tersebut, bisa jadi : siapakah calon gubernur yang akan anda pilih atau mengapa biaya pendidikan semakin mahal.
Namun akibat ulah sebagian pemuda leger, yang memiliki kebiasaan meneguk minuman keras (miras—mabuk) dan cenderung bertindak anarkis, konotasi anak leger terdengar demikian negatif. Padahal tidak semua anak leger suka bertindak anarkis dan pembuat onar. Di beberapa leger masih sering saya jumpai sekelompok pemuda yang ngobrol sambil bergantian memainkan gitar dan menyanyikan lagu hingga tengah malam, dan sorenya membuat setencil dan street Art atau menggelar lomba bola volley dan bola kaki antar kelurahan. Namun semua itu tak cukup membuat sebagian masyarakat melihat dengan kacamata baru. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi adalah menjadi anak leger bukanlah hal mudah, sebab norma sosial terlanjur mencetak miring tentang pemuda baik, pemuda santun harapan bangsa tentunya bukanlah pemuda yang suka keluyuran tengah malam. Namun bagi beberapa anak leger, mereka sangat nyaman dengan kehidupan mereka. Sebab hidup mereka tidak didoktrin dengan seperangkat aturan.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah leger telah berubah fungsi menjadi pangkalan ojek. Sehingga istilah leger pun sudah agak jarang digunakan. Saat ada dua atau tiga pemuda bercakap-cakap, saat ini mereka lebih sering meggunakan istilah pangkalan dibandingkan leger.
Mendengar istilah pangkalan, saya seperti berada di sebuah pertempuran yang dipimpin oleh seorang panglima besar yang siap menggempur pangkalan-pangkalan lain. Tapi mungkin itu hanya kecemasan saya, karena beberapa tahun terkahir ini pemuda-pemuda yang bertetangga (seperti pemuda Mangga Dua dan pemuda Toboko—Ternate) sering terlibat bakuhantam dan sulit didamaikan. Begitu pula dengan pemuda-pemuda di kelurahan lain.
Mudah-mudahan peristiwa tersebut tidak berkaitan dengan leger yang berubah nama menjadi pangkalan. Meskipun istilah pangkalan lebih bermakna: tempat (pelabuhan, lapangan, dsb ) yang dijadikan tumpuan untuk menyerang musuh.
***



Generasi Leger olehWiwik Sriwiningsih

Rasanya sudah lama sekali saya tidak duduk bersama-sama dengan kawan-kawan di Leger, meskipun sebelumnya saya juga hanya sesekali duduk di leger, namun kebiasaan itu sadah sangat lama saya tinggalkan. Mungkin bagi tema-teman yang bukan berasal dari Maluku Utara, kata leger terdengar asing dan tak biasa. Namun tidak demikian halnya bagi anak muda di Maluku Utara. Meraka sangat akrab dengan istilah leger.
Leger adalah sebuah tempat nongkrong para kaum muda, yang kebanyakan adalah kaum cowok namun ada juga kaum cewek tapi jumlahnya lebih kecil. Leger biasanya berada pada perempatan jalan yang sengaja dibangun oleh kaum muda untuk berkumpul dan mengobrolkan apa saja. Di Maluku Utara khususnya Ternate, hampir setiap kampung/kelurahan memiliki leger bahkan bisa dibilang setiap RW atau RT memiliki sebuah leger.
Julukan anak leger biasanya disematkan pada anak muda yang sering nonkrong di leger. Bagi saya, leger sebenarnya sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melakukan obrolan dengan kawan-kawan. Saya berpendapat demikian karena beberapa alasan. Pertama, leger biasanya dibangun bersama-sama (gotong royong) oleh warga setempat khususnya pemuda dengan tujuan sebagai tempat duduk atau tempat istirahat sambil mengobrolkan apa saja. Kedua, leger adalah tempat terbuka yang memungkinkan siapa saja untuk melakukan aktivitas pada malam maupun siang hari tanpa dipungut biaya, sebab leger adalah milik bersama. Ketiga, dengan adanya leger memungkin para kaum muda lebih sering bertemu untuk membicarakan ide-ide kreatif mereka.
Selain ketiga hal tersebut, leger sebenarnya juga berfungsi sebagai pos kamling bagi warga setempat, sebab beberapa leger terlihat masih beraktivitas hingga larut malam bahkan ada yang sampai pagi. Setahu saya hanya para hansip yang tidak tidur semalaman demi menjaga keamanan warga. Oleh karena itu, para pemuda leger sebenarnya telah bertindak sebagai penjaga keamanan yang bertugas dengan sukarela (tanpa beban atau embel-embel kewajiban warga negara).
Beberapa aktifitas yang sering saya jumpai di setiap leger adalah para pemuda seringkali mengobrolkan apasaja, mulai masalah remeh-remeh hingga masalah serius seperti perbincangan politik dan seni. Tentu saja terkait mutu sebuah obrolan sangat tergantung siapa saja yang terlibat dalam obrolan tersebut. Sekali lagi, itulah menariknya pemuda leger, di leger itulah siapa saja bisa mengobrolkan apasaja tanpa takut salah ataupun merasa bersalah. Dalam sebuah obrolan di leger segalanya mengalir begitu saja. Obrolan bisa saja dimulai dari si A baru putus dengan si C, isteri G berselingkuh dengan N, atau harga cabe lebih mahal dari harga daging, namun akhir dari kisah tersebut, bisa jadi : siapakah calon gubernur yang akan anda pilih atau mengapa biaya pendidikan semakin mahal.
Namun akibat ulah sebagian pemuda leger, yang memiliki kebiasaan meneguk minuman keras (miras—mabuk) dan cenderung bertindak anarkis, konotasi anak leger terdengar demikian negatif. Padahal tidak semua anak leger suka bertindak anarkis dan pembuat onar. Di beberapa leger masih sering saya jumpai sekelompok pemuda yang ngobrol sambil bergantian memainkan gitar dan menyanyikan lagu hingga tengah malam, dan sorenya membuat setencil dan street Art atau menggelar lomba bola volley dan bola kaki antar kelurahan. Namun semua itu tak cukup membuat sebagian masyarakat melihat dengan kacamata baru. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi adalah menjadi anak leger bukanlah hal mudah, sebab norma sosial terlanjur mencetak miring tentang pemuda baik, pemuda santun harapan bangsa tentunya bukanlah pemuda yang suka keluyuran tengah malam. Namun bagi beberapa anak leger, mereka sangat nyaman dengan kehidupan mereka. Sebab hidup mereka tidak didoktrin dengan seperangkat aturan.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah leger telah berubah fungsi menjadi pangkalan ojek. Sehingga istilah leger pun sudah agak jarang digunakan. Saat ada dua atau tiga pemuda bercakap-cakap, saat ini mereka lebih sering meggunakan istilah pangkalan dibandingkan leger.
Mendengar istilah pangkalan, saya seperti berada di sebuah pertempuran yang dipimpin oleh seorang panglima besar yang siap menggempur pangkalan-pangkalan lain. Tapi mungkin itu hanya kecemasan saya, karena beberapa tahun terkahir ini pemuda-pemuda yang bertetangga (seperti pemuda Mangga Dua dan pemuda Toboko—Ternate) sering terlibat bakuhantam dan sulit didamaikan. Begitu pula dengan pemuda-pemuda di kelurahan lain.
Mudah-mudahan peristiwa tersebut tidak berkaitan dengan leger yang berubah nama menjadi pangkalan. Meskipun istilah pangkalan lebih bermakna: tempat (pelabuhan, lapangan, dsb ) yang dijadikan tumpuan untuk menyerang musuh.

Rabu, 24 Agustus 2016

Pintu Maut

Catatan singkat.
Kebanyakan orang sepakat kematian urusan Allah—Tuhan seluruh Mahkluk. Tidak hanya kematian , jodoh, rizki semua telah diatur sebelum kita lahir di dunia. Namun tidak banyak yang tahu bagaimana kematian menghampiri semua orang. Suka tidak suka ia tetap saja datang dengan cara yang amat rahasia. Bisikan-bisikan halus seringkali terabaikan. Saat telinga kita terbiasa mendengar sesuatu buruk sangat susah menerima sesuatu yang baik, seolah kebaikan itu benda asing dan berbaya yang harus dimusnahkan dari benak. Sesaat kita lupa, apa yang sebenarnya baik bagi diri kita.
Sekali lagi mati urusan Tuhan! Saat ajal akan menghampiri sebenarnya bisikan kebaikan dan kejahatan datang silih berganti, semakin kita dekat dengan kematian, iblis semakin gencar meniupkan keburukan dalam hati manusia, sebab iblis selalu menginginkan manusia mati dalam keadaan mengkhianati Tuhan, agar masuk neraka bersama mereka.
Iblis selalu punya cara mengajak manusia menuju pada keburukan, kejahatan, kemaksiatan dan sederet ilmu sesat lainya. Saat iblis tidak mampu mengajak manusia yang mendekati ajal berbuat buruk, iblis punya seribu cara membuat manusia turut berbuat jahat pada saat ajal menjemput manusia lain. Banyak contoh yang diperlihatkankan Tuhan pada kita, pada kasus Angelina, Mirna Salihin, Salim Kancil, Mahasiswa Malut di Jogja dan lain-lain. Sekali lagi mati Urusan Tuhan! Tapi Iblis Gemar Mendompleng ketenaran untuk memproklamasikan kejahatan mereka agar anak cucu Adam tersesat bersama.(W.SW . Ternate 09/02/2016)

PERBEDAAN


Ombak selalu datang menerpa karang yang indah
Selalu menerima segala perbuatan
Berjuta perbedaaan yang ada disatukan dengan semboyan Mari moi ngone futuru
Kebersamaan burung-burung dalam terbang
Menjadikan armada keyakinan yang utuh

Suara hati para pelaut disampaikan dengan emosi
Pemimpin kami yang tidak tegaS, Membuat rakyat ternate sengsara
Kami orang ternate, baik menyambut perbedaan
Tak peduli isu yang memecah belah
Namun,cerita lama yang dipercayai, tak lagi dituruti

Ternate kota misteri penuh budaya dan perbedaan
Benteng keyakinan masyarakat menyatukan perbedaan
Meskipun kadang perbedaan tak dapat disatukan bagai siang dan malam
Namun terkadang hujan gerimis mampu menyeret keretakan hubungan sosial
Bahkan kemarahan ombak membuat kami takut
Bagai semut-semut merah diserang belalang
Ketika ancaman datang dari luar, mereka menjadi liar
Selalau bertikai hanya karena masalah-masalah kecil

Nurul safitri ,
SISWA KELAS III
SMP BP ALKHAIRAAT TERNATE











Nurul safitri
Kelas : 9 C

Selasa, 23 Agustus 2016

Ternate Dan Gedung Kesenian

Ternate Dan Gedung Kesenian
Wiwik Sriwiningsih

Dari berbagai literature sejarah, Maluku Utara (Ternate) merupakan sebuah kota tua yang banyak menyimpan cerita, diantaranya, kekokohan kedaton (keraton) kesultanan Ternate, dan tradisi sastra lisan. Sejarah tradisi sastra lisan yang panjang tersebut, sehurusnya menjadi salah satu warisan budaya yang wajib ditularkan di tengah kemajuan peradaban umat manuasia. Selain sebagai warisan budaya, tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan peradaban dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam berbagai bentuknya yang sangat kompleks, tradisi lisan Ternate, tidak hanya cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan masyarakat pemiliknya, misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan, religi, dan berbagai hasil seni.
Namun kegemilangan masa lalu Ternate, dengan segala potensi sumber daya Alam penghasil rempah-rempah ( cengkih dan pala) sangat kontras dengan kondisi Kota Ternate saat ini. Secara kasat mata, kita masih kerap menyaksikan aktivitas para kaum muda menggelar pesta muda-mudi di tengah jalan raya yang seringkali menganggu arus lalulintas. Tidak berlebihan jika dikatakan, hal tersebut merupakan implikasi dari minimnya ruang ekspresi di Ternate bagi masyarakat setempat untuk menyalurkan dan mengasah rasa seni mereka. Selain itu, sebagaimana kita ketahui, sejumlah aktivitas berkesenian di Maluku Utara (Ternate) yang dikemas dalam lomba pada perayaan-perayaan hari besar nasional dan ulang tahun kota menjadi momen yang bersifat insidental. Tentu saja merayakan hari-hari besar nasional atau pun perayaan ulang tahun kota yang menampilkan atraksi-atraksi kesenian dilakukan hampir di semua daerah. Minim atau bahkan tidak adanya ruang ekspresi seni dan budaya dalam hal ini gedung kesenian di Maluku Utara, menjadi salah satu faktor iklim kesenian yang tidak kondusif.

Gendung kesenian dirasa penting dibangun demi mengimbangi perkembangan tingkat ekonomi masyarakat, yang secara tidak langsung diikuti dengan semakin meningkatnya tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya. Keinginan masyarakat untuk menikmati keindahan karya seni, dan hasrat untuk mengalami keindahan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang semakin meningkat. Timbulnya hasrat dan keinginan manusia untuk menyaksikan pertunjukan yang dipergelarkan oleh orang lain, serta keinginan para seniman untuk disaksikan dan mempergelarkan hasil karya mereka, telah dirasakan sebagai kebutuhan naluri dan spiritual bagi masyarakat yang beradab dan berbudaya.
Indonesia mempunyai gedung-gedung pertunjukan yang berskala nasional seperti gedung kesenian di Taman Ismail Marzuki, Salihara, Teater Tanah Airku, dan Gedung Kesenian Jakarta yang semuanya berada di Jakarta. Untuk itu bukan hal yang mustahil jika Ternate juga memiliki gedung kesenian.
Nilai dan Manfaat Seni Bagi Masyarakat
Telah banyak pendapat yang muncul perihal hubungan kegiatan kesenian dan masyarakat, dengan menggunakan metodologi pengukuran yang beragam, khususnya dalam mengukur dampak seni bagi publik: mengapa seni penting dan mutlak dibutuhkan dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat, dilihat dari besaran nilai dan manfaat sosial yang dihasilkannya. Secara tradisional, nilai dan peran kesenian yaitu antara lain melestarikan keberlanjutan dengan warisan budaya masa silam dan menanamkan identitas nasional. Namun, ini kiranya belum cukup. Jika merujuk kembali pada faktor manusia dan kehidupannya, hal-hal seperti kualitas hidup, pengembangan dan perawatan integritas seni budaya, pelibatan masyarakat setempat, maka nilai dan manfaat kesenian dapat ditelusuri dari pelbagai aspek. Dalam kaitan dengan tema pemberdayaan khususnya, ada tiga capaian kesenian pada level individu dan masyarakat:
1. Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk kehidupan. Seni membantu kita memahami, menerjemahkan, serta beradaptasi dengan realitas dan kompleksitas dunia sekitarnya. Seni berperan sebagai sarana komunikasi dan menyediakan bahasa alternatif di mana terjadi arus pertanyaan, stimulasi, imajinasi, reaksi, atau aspirasi bagi kondisi kehidupan masyarakat:berasal dari mana, di mana mereka kini tengah berada dan akan menuju ke mana. Saat ini, telah banyak komunitas seni yang telah berkiprah tak hanya dalam kesenian, namun mampu merambatkan diri pada isu-isu sosial lain, sebagai ruang penciptaan kesadaran dan pembelajaran bersama.
2. Memperkaya pengalaman kehidupan individual dan kolektif, yaitu dengan membawa keindahan, semangat, warna dan intensitas hidup. Sifat seni yang menyediakan dan merespon perasaan manusia menjadikannya sebagai sumber hiburan dan kesenangan bagi masyarakat di antara pergelutan hidup mereka sehari-hari.
3. Menyediakan sebuah ruang ‘lindung’ bagi pengembangan dan penerapan artistik:ketrampilan, kepercayaan dan penghargaan diri, serta kapasitas imajinasi dan refleksi. Pada tataran individual, seni menjadi ruang dan sarana bagi ekspresi diri atau kelompok dalam menuturkan pikiran atau perasaan. Pada tataran sosial, seni mampu mengumpulkan masyarakat bersama-sama, mencipta ikatan dalam masyarakat yang datang dari pelbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda. Kesenian juga mampu merawat kepekaan dan rasa kepemilikan atas sebuah tempat, identitas masyarakat dan kebanggaan atas tempat hidup mereka. Selain itu, kesenian mampu berperan dalam regenerasi dan peningkatan ekonomi di wilayah setempat –semisal Usaha Kecil dan Menengah industri kerajinan, atau industri kreatif secara umum.

Dibanding kegiatan-kegiatan berdimensi sosial lain, semisal olah raga yang manfaatnya tak mencakup seluruh poin di atas, hanya kesenian yang mampu mencapai ketiga tujuan ini jika dikaitkan dengan pemberdayaan SDM dan masyarakat. Kesenian dalam kapasitas ‘instrumentalisme sosial’ ini kiranya menjadi vital dan urgen untuk diperhatikan dan digarap secara lebih bersungguh-sungguh. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, nilai dan manfaat seni cenderung luput diperhatikan dan tidak terintegrasikan dengan baik dalam kerangka pembangunan nasional. Jika disimpulkan, peran seni dalam menjawab kebutuhan sosial dan ekonomi secara lebih luas, menjadi kuat justru karena seni mampu mengembangkan kapasitas kehidupan dan pemberdayaan pada tataran individual dan kolektif.

Wiwik Sriwiningsih
Dilahirkan di Kao, Maluku Utara, 1984. Menulis puisi, cerpen dan novel. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara. Mengikuti workshop/bengkel Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA): penulisan Novel (2011), di Bogor dan Residensi Masyarakat Indonesia Cipta (MIC) 2012, di Studiohanafi Depok. Memperoleh penghargaan Anugerah Kebahasaan kategori Tokoh Sastra dari Kantor Bahasa Propinsi Maluku Utara (2015). Tinggal di Ternate.
Email : wiwik_sriwiningsih@yahoo.com
Bahan bacaan :
----- Makalah ‘Kajian Tradisi Lisan Sebagai Kekuatan Kultural Program pengadaan Dan Penilitaian Ahli Tradisi Lisan’’ http://atl/blogspot.com 28/05/2010, diakses 25 januari 2011
Ditjen Kebudayaan Deperteman pendidikan dan kebudayaan republik indonesia, Sekelumit Monografi Daerah Ternate,1993
Irsyadi, Hudan. Legu Gam Sebagai Refleksi Relasi Antar Etnik Pada Kemajemukan Masyarakat Ternate. Jogjakarta : Sekolah pascasarjana UGM jogjakarta. 2012
Masyarakat Indonesia Cipta, ‘’Proposal Insiatif Masyarakat Seni Di Kawasann Timur Indonesia‘’, Jakarta, 2011