IMAJINASI BIRU. http://www.wiwiksriwiningsih.blogspot.com
MENULIS TENTANG HIDUP, MATI PUN HIDUP
Selasa, 04 Juni 2024
Puisi kupuja dalam doa
Dalam sunyi malam aku berkelana,
Di lembah jiwa, di antara desir angin senja,
Kutinggalkan dunia fana, menapak jalan setapak,
Mencari puncak, tempat jiwa merdeka.
Gunung menjulang, menatap langit tak bertepi,
Adalah Engkau, Sang Kekasih abadi,
Setiap langkah mendaki, setiap napas terhembus,
Menggetarkan rindu dalam dada yang haus.
Puncak-Mu tinggi, di atas awan suci,
Di sanalah aku mendamba hadirmu, oh Ilahi,
Di lereng curam ku temui cinta sejati,
Yang tak terucap kata, tak terjelma arti.
Batu-batu cadas adalah cobaan,
Yang menguji iman dalam setiap pendakian,
Namun di balik kesulitan, di balik duri dan luka,
Kau sisipkan rahmat, menguatkan langkah yang tersisa.
Angin yang menyapa, bisikan lembut-Mu,
Mengajak jiwa terbang dalam syair rindu,
Di puncak gunung, kulihat cahaya,
Menyatu dalam doa, menyelimuti semesta.
Oh, Gunung Cinta, tempat peraduan hati,
Kutitipkan segala duka, segala lara ini,
Dalam bisik doa, kuadukan segala,
Kepadamu, Sang Kekasih, yang Maha Membela.
Di puncak-Mu, kupuja dalam hening,
Engkaulah segalanya, dalam tenang tak bertepi,
Seperti gunung yang kokoh dalam teguh,
Jadilah pelindungku, dalam hidup dan mati.
Aku adalah pendaki dalam setiap kelana,
Merangkak di celah bebatuan, dalam dingin yang menyapa,
Namun kehangatan cinta-Mu adalah pelita,
Menerangi jalan, menghapus segala nestapa.
Kuseret langkah lelah, di bawah rindang pepohonan,
Menghitung bintang-bintang sebagai saksi perjalanan,
Dalam lelah, dalam lapar dan dahaga,
Kutemui Engkau di setiap hela nafas doa.
Kabut pagi menyelimuti, membawa kesejukan,
Adalah sapaan-Mu dalam hening yang menyimpan,
Ketenangan jiwa, ketentraman abadi,
Yang kutemui di setiap curam dan lereng yang sunyi.
Setiap tetes embun di dedaunan hijau,
Adalah berkah-Mu yang tiada tara, tiada pernah jemu,
Menyirami hati yang tandus, memberi hidup,
Seperti doa-doa yang mengalir dalam deras air sungai.
Kutitipkan setiap harapan pada puncak yang jauh,
Pada awan yang menyentuh ketinggian abadi,
Di sanalah hatiku berserah, dalam sujud penuh rindu,
Mencari damai dalam naungan kasih-Mu yang agung.
Oh, Gunung Harapan, di sanalah ku melihat,
Kebesaran-Mu, di antara puncak dan lembah yang luas,
Di sanalah cinta-Mu memelukku erat,
Menyatukan jiwa dalam harmoni yang tulus.
Maka dalam setiap langkah, dalam setiap jejak,
Kuharap rahmat-Mu mengalir tanpa henti,
Di puncak-Mu, kutemui ketenangan sejati,
Dalam doa, dalam sujud, dalam cinta yang tak bertepi.

Kamis, 14 November 2019
Kopi dan Perempuan Cenayang

Membaca kembali antologi puisi perempuan cenayang hasil pergualantan emosi , penemuan rasa dalam olahan imaji Marjorie S Amal, seperti menikmati secangkir kopi. Sekali teguk kita bisa menemukan sensasi rasa pahit sekaligus manis yang tercerap dalam renung yang tak biasa. Tak bermaksud membedah atau pun menelaah, sebab kedua hal tersebut membutuhkan sekian rujukan dan teori untuk mengupas segala sisi hingga menemukan sebuah esensi puisi.
Saya membacanya sambil menikmati secangkir kopi, melepaskan segala pisau teori agar tak terbebani segala “hegemoni konvensional para pakar” (barangkali memang saya yang awam dengan teori sastra). Membaca bebas antologi puisi perempuan cenayang (selanjutnya disingkat APPC) seperti merasakan menjadi perempuan yang penuh cinta ,sekaligus menggugat tempat yang telah dikontruksi dalam waktu tak terbatas.
Sekali lagi, saya membaca APPC dalam tafsir bebas, sebagaimana yang saya pahami, karya sastra yang sama, bila dibaca pada masa yang berbeda akan melahirkan presepsi yang berbeda. Secara utuh APPC membelah diri dalam empat tema: Perempuan, cinta, tempat dan waktu. Meskipun secara totalitas empat hal tersebut masih berada di bawah payung besar perempuan.
Pada lembaran pertama antologi ini, kita dibawa pada sosok perempuan bernama ibu”aku mencintai ibuku”hal.3, dengan segenap narasi dan metafora puisi ini selalu berusahan mengutuhkan antara perempuan dan cinta. Ketika perempuan adalah seorang anak, ketika perempuan adalah isteri, ketika perempuan adalah ibu ia tetaplah mahkluk yang dipenuhi cinta dengan segala warnanya. Kemudian ditutup dengan “suara tengah malam” yang berupaya memisahkan diri dari tema perempuan yakni berbicara soal waktu. Meskipun puisi terakhir dalam APPC berkutat tentang waktu tapi belum bisa lepas dari nuansa perempuan atau barangkali setiap penulis perempuan selalu punya warna” feminis” dalam setiap tulisannya. “suara tengah malam” sekalipun berbicara perihal yang dialami si aku lirik dalam rentang waktu kenang,tetap saja menyiratkan nada perempuan dalam bait-bait alur :
“suara tengah malam”
Ada suara di lantai bawah
Tapi tak kukenali suara itu
Seperti rintihan,tercekat
Menangisi yang hilang
Kususuri tangga hingga kebawah
tak ada sesiapa hanya kusiur angin
…..(hal 97)
Sebagaimana puisi, APPC penuh metafora sekaligus diksi yang tak biasa. Namun demikian dari 72 puisi yang yang terdapat pada APPC dipetakan dalam empat tema merupakan olah pikir, rasa dan imajinasi pada empat masa, yakni :
2016,(jangan sebut kami jalang gadis berambut api, sang perempuan, lelaki tanta tarung, untukmu anaku, analekta pagi, reuni hati, sepatu rajutmu yang pertama,pinanglah aku, aku tak suka bungga dan ranjangmu,memburu kenang,memesrai maut, menunggu, bila, di penghujung)
2017(perempuan cenayang, namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa),
2018(aku mencintai ibuku,rahasia, apa yang kau tahu tentangku, jerat, mungkin saja, kami yang menjadi asing, panas mimpi, melukismu dari balik jendela, perihal senyummu,petani kopra, pantai werdha, di atas kursi roda,biru, karma, seandainya,metamorphosis,Pigura,)
2019(usai, wanita di pekarangan bapak, karnaval negeri la la, di dapur, di bawah payung, tentang mimpi, api unngun, bulan usai, doa, suara tengah malam).
Dengan kesadaran sekaligus penasaran yang menggelitik saya berupaya memilah setiap puisi ke dalam empat masa, dengan harapan menemukan,memudahkan saya dalam memahami materi teks pada lembar-lembar APPC. Kemudian saya kembali disibukan dengan sekalimat singkat dalam nada Tanya: apa yang saya temukan? ketika mengurutkan, lebih tepatnya memilah puisi berdasarkan masa terciptanya sebuah karya sastra. Ya, untuk menjawab soal tersebut, nampaknya saya perlu secangkir kopi yang kental, pekat dan sedikit gula (intermeso…)
Perempuan cenayang “lahir” pada 2017 bersama dengan “namaku rabiyah, sebab kau mendengarkanku, kue kuk,perempuan itu pun menua,episode laut, rahasia pagi,saat anaku berpuisi, merawat cinta,jika aku berlayar,dan kaupun pergi, mari bicara rindu, kupelukmu dari sini, kilasan, jejak, aku dan hujan, dongeng anaku tentang badai, pulauku morotai, membaca ternate dalam peta hatiku, geliat tanjung bongo, ziarah alam, kok aku tak merindu negeriku, dia, nina bobo, sang penabur mimpi, kenangan kita, pulang, kepulangan, saat berbuka puasa”.
Sekali lagi, saya hanya membaca kemudian merasakan dimensi ruang, waktu, suasana dalam perangkap metafora, diksi yang lebih kental, sesekali menemukan diri dalam idiom lokal yang disematkan dengan rapi jauh dari tempelan.
“perempuan cenayang ”
Aku datang padanya di senja beraroma magis
Perempuan berambut perak, bermata sekelam karang hitam
Kulit sepucat bola Kristal
Suarannya mengangkangi angin
Waktu pun menggantung saat pendulumnya bergerak
Kanan kiri,tik tak,antara pelipis dan pangkal alis berdenting, berderau
Magnet mataku hanyutkan sadarku
Hening, bening, cahaya kian tirus menepi
“aku tahu ada luka menganga pada jantungmu”
Perempuan itu membelah dadaku, menghitung luka dan bilur kecil
Yang bergerak naik turun antara dada dan perutku
Singgah ke ubun-ubun, otak dan kembali ke sarangnya hati
Manteranya mengalun berteriak mengalun beriak mencipta ombak
Bergemuruh meledakan rumah kaca
Pecah dan segenap mata angin
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit. (perempuan cenayang, hal.9)
Ada banyak hal yang menarik pada perempuan cenayang, selayaknya puisi yang menawan sudah tentu pada perempuan cenayang kental akan metafora dan diksi yang mengutuhkan pesan sebuah teks. Membaca perempuan cenayang, dalam waktu yang sama kita menemukan makna konotasi sekaligus denotasi dalam metafora yang konsisten. Sehingga gagasan dasar sebuah teks terangkai rapi dalam kemasan puisi bergaya naratif. Secara konotatif kita menemukan makna dalam baris-baris yang tak terpisahkan. Ketika perempuan cenayang dibaca secara utuh tanpa membelah baris dan bait memberi interpretasi tentang dua sosok perempuan yang dihadapkan pada konflik batin. Dua sosok perempuan dalam puisi di atas hanyalah medium,simbol, sekaligus petanda untuk menyampaikan pesan bagaimana dua perempuan saling mengenal, memahami tanpa batas. Atau sengaja memberi impresi bahwa hanya perempuanlah memahami dirinya. Tak hanya sebatas itu, secara tersirat perempuan cenayang memberi interpretasi kedalaman batin tentang aspek religi yang terbangaun pada setiap baris dan bait. Kedalaman religiositas yang dibangun mencakup aspek lain yakni pada fase tertentu tempat kemabalinya manusia adalah hatinya.
“dimana hatimu, tak kutemukan hatimu”.
Cenayang itu menangisi aku
Menjahit dadaku kembali dengan benang huruf misterius yang dibaca dari kanan ke kiri
Ya… kitab itu,yang telah lama kutinggalkan berdebu
Sayatan luka jadi sunyi
“pulanglah, dan bacalah, kembalikan hatimu dengan memuliakan-Nya.
Dia yang mengetahui seluruh rahasia langit dan bumi.
Ceritamu telah di pahat pada hatimu oleh-Nya”
Aku pun pulang pada jatuhnya malam mencari hatiku
Mengaharap hari berbangkit

Rabu, 10 April 2019
Aku ingin
Karya:Fitri romadhoni
Siswi smp Alkhairaat Ternate
Aku ingin seperti bulan, yang bisa melihat keindahan di tengah malam.
Aku ingin seperti Bintang, yang menjadi pelengkap di langit hitam.
Aku ingin seperti matahari, yang bisa melihat seluruh aktivitas bumi.
Aku ingin seperti pelangi, yang selalu di puji dan di kagumi.
Bermain, itulah yang ku lakukan.
Tertawa lepas ,itulah yang ku kenal.
Menjadi seorang pilot, itulah yang ku inginkan.
Mempunyai uang banyak, itulah yang ku bayangkan.
Dan bermalas-malasan ,itulah yang selalu saya kerjakan.
Aku hanya hidup dalam sebuah khayalan.
Aku tidak mau berusaha ,tetapi mau menginginkan segalanga.
Sulit untuk memiliki semuanya.
Tetapi kata BERUSAHA tidak ada di fikiran saya.
Tidur, itulah yang membuat saya merasa senang.
Dan bermimpi menjadi seorang pilot, itulah suatu kebahagiaan.
Bertahun-tahun ku hanya hidup dalam sebuah angan angan.
Hingga kini ku harus bangkit dari khayalan itu.
Berusaha keras itulah yang saya lakukan.
Menjadi seorang pilot, dan mempunyai uang banyak, bukan khayalan lagi bagi saya.
Siswi smp Alkhairaat Ternate
Aku ingin seperti bulan, yang bisa melihat keindahan di tengah malam.
Aku ingin seperti Bintang, yang menjadi pelengkap di langit hitam.
Aku ingin seperti matahari, yang bisa melihat seluruh aktivitas bumi.
Aku ingin seperti pelangi, yang selalu di puji dan di kagumi.
Bermain, itulah yang ku lakukan.
Tertawa lepas ,itulah yang ku kenal.
Menjadi seorang pilot, itulah yang ku inginkan.
Mempunyai uang banyak, itulah yang ku bayangkan.
Dan bermalas-malasan ,itulah yang selalu saya kerjakan.
Aku hanya hidup dalam sebuah khayalan.
Aku tidak mau berusaha ,tetapi mau menginginkan segalanga.
Sulit untuk memiliki semuanya.
Tetapi kata BERUSAHA tidak ada di fikiran saya.
Tidur, itulah yang membuat saya merasa senang.
Dan bermimpi menjadi seorang pilot, itulah suatu kebahagiaan.
Bertahun-tahun ku hanya hidup dalam sebuah angan angan.
Hingga kini ku harus bangkit dari khayalan itu.
Berusaha keras itulah yang saya lakukan.
Menjadi seorang pilot, dan mempunyai uang banyak, bukan khayalan lagi bagi saya.


Minggu, 05 Agustus 2018
Puisi
DALAM ORASI
Aku sedang menanti pelajaran berikut
Tentang kemanusiaan dan kesederhanaan
Terkadang aku merasa tamak karena belum bisa memahami arti sederhana
Tapi , dalam pertemuan
Tak henti-henti berceloteh tentang:
Kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati,
Begitu hebat mereka berorasi
Tapi tak pernah menggunakan piring yang sama ketika makan
Tak pernah minum air bersama,
Dalam Orasi mereka peduli
Dalam orasi mereka kembali meneriakan :
kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati
Tapi,
Mari kita sedikit cermat
Tentang bahasa keramat
Rendah hati bukanlah ramah tamah palsu
Apalagi memisahkan hati dan kepala
berorasi tentang nyamannya tikar
Namun tetap tak berpindah dari kasur yang empuk
Wiwik. S
Aku sedang menanti pelajaran berikut
Tentang kemanusiaan dan kesederhanaan
Terkadang aku merasa tamak karena belum bisa memahami arti sederhana
Tapi , dalam pertemuan
Tak henti-henti berceloteh tentang:
Kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati,
Begitu hebat mereka berorasi
Tapi tak pernah menggunakan piring yang sama ketika makan
Tak pernah minum air bersama,
Dalam Orasi mereka peduli
Dalam orasi mereka kembali meneriakan :
kemanusiaan
Kebersamaan
Kesederhanaan
Rendah hati
Tapi,
Mari kita sedikit cermat
Tentang bahasa keramat
Rendah hati bukanlah ramah tamah palsu
Apalagi memisahkan hati dan kepala
berorasi tentang nyamannya tikar
Namun tetap tak berpindah dari kasur yang empuk
Wiwik. S

Puisi
TENTANG PAGI DAN SENJA SUATU HARI
Kau tahu rasanya pagi
Bukan sekedar teh manis atau secangkir kopi
Obrolan sepi barangkali misteri
Bukan perkara menebak isi hati
Juga rumitnya benak yang memelas dimengerti
Mari kita hindari perkara ingkar janji
Menyederhanakan kreasi juga apresiasi
Kita belajar saling mengerti
Bukan paling mengerti tuk runtuhkan harga diri
Kau tahu rasanya pagi
Suara burung bukanlah kupu-kupu warna-warni
Aku tak memetik mimpi tuk bangunkan tidurmu
Apalagi merajam senja tuk sorakan bahagia lalu
Akhirnya rasa itu jadi milikmu
Tentang rasa takut juga bahagia.
Barangkali kau ingin jadi pelagi
Melengkung bahagia dalam rintik dan tatap gerimis
Aku tak lebih dari sepasang mata yang menatap bahagia pada setiap lengkung kebaikanmu.
Kau tahu kekagumanku bukan sekedar warna warni pelangi.
Tapi juga awan di matamu
Yang memutih bahkan menghitam sekali pun
Terkadang aku masih ragu kau mengerti semua ini
Tapi untukmu sebuah puisi bukanlah perkara aksara
Ia bisa saja sebongkah awan putih yang menuju langit sanubari
Wiwik.S
Kau tahu rasanya pagi
Bukan sekedar teh manis atau secangkir kopi
Obrolan sepi barangkali misteri
Bukan perkara menebak isi hati
Juga rumitnya benak yang memelas dimengerti
Mari kita hindari perkara ingkar janji
Menyederhanakan kreasi juga apresiasi
Kita belajar saling mengerti
Bukan paling mengerti tuk runtuhkan harga diri
Kau tahu rasanya pagi
Suara burung bukanlah kupu-kupu warna-warni
Aku tak memetik mimpi tuk bangunkan tidurmu
Apalagi merajam senja tuk sorakan bahagia lalu
Akhirnya rasa itu jadi milikmu
Tentang rasa takut juga bahagia.
Barangkali kau ingin jadi pelagi
Melengkung bahagia dalam rintik dan tatap gerimis
Aku tak lebih dari sepasang mata yang menatap bahagia pada setiap lengkung kebaikanmu.
Kau tahu kekagumanku bukan sekedar warna warni pelangi.
Tapi juga awan di matamu
Yang memutih bahkan menghitam sekali pun
Terkadang aku masih ragu kau mengerti semua ini
Tapi untukmu sebuah puisi bukanlah perkara aksara
Ia bisa saja sebongkah awan putih yang menuju langit sanubari
Wiwik.S

Rabu, 01 Agustus 2018
Rumbata
Belajar merapikan Buku Sekaligus Meningkatkan Minat Baca.






Usai belajar dan selesai membaca, atau sekedar melihat-lihat buku di Rumbata (Rumah Baca Kalumata), buku tak lagi rapi seperti sediakala. Meski sudah seringkali dingatkan oleh para pendar, anak-anak tetaplah anak-anak yang harus ekstra sabar untuk menyadari setiap tingkah polah mereka.
Beberapa hal untuk membiasakan meletakan atau merapikan buku pada anak-anak usia rata-rata 4,6,7 hingga10 tahun,Rumbata berupaya menyampaikan pengetahuan tersebut melalui bermain peran dan lain-lain. Dengan bermain peran dan menganggap segala aktifitas adalah dunia bermain, setiap aktivitas terasa tampak menyenangkan. Meskipun butuh waktu yang lama untuk membiasakan disiplin, bertanggung jawab dan bekerja sama, namun kami yakin setiap pengetahuan yang ditanam sejak dini akan menjadi dasar bagi setiap anak untuk masa depan mereka.
Pada awalnya anak-anak dilatih untuk mengambil sebuah atau dua buah buku, setelah melihat isi buku beberapa menit kemudian diminta mengembalikan di tempat semula, sesuai dengan posisi awal. Tak menunggu waktu lama semua anak meletakan buku di tempat semula, namun beberapa anak belum meletakan secara tepat. Permainan tak berhenti sampai di situ. Sebab dari 12 anak hanya 3 yang mampu mengingat judul buku yang baru diambilnya.
Selanjutnya, anak-anak diminta mengambil buku lebih dari dua untuk melihat atau mengidentifikasi judul buku,nama penulis,dan penerbit.
Dengan kemasan bermain, membaca buku diharapkan menjadi aktivitas yang tidak hanya menarik bagi anak tetapi juga keharusan.
Untuk melatih sikap disiplin dan tangggung jawab, anak-anak akan diminta untuk merapikan ruang baca, bagi dua orang yang datang paling belakang.
Berhubung mereka saling berebut jadwal membaca doa belajar dan doa pulang meski telah dijadwalkan, maka anak yang datang paling awal mendapat perioritas membaca doa untuk menggatikan sang pembaca doa yang belum sempat hadir.
Selain kegiatan membaca, Rumbata mulai membiasakan anak-anak mengenal buku melalui judul, penulis, dan penerbit dan cara menemukannya dengan mudah. Beberapa anak yang mulai menikmati sesi ini akan akan mulai bertanya tentang: apa itu penerbit? Apa itu editor dan penyunting?
Dengan pertanyaan sederhana tersebut, anak-anak diajak mengenal buku dan membaca sejak dini.
Mengenalkan anak-anak tentang Penulis, judul, Penerbit, Penyunting/editor dll sangatlah penting, sehingga anak-anak dapat menghargai sebuah buku/karya dengan bekal pengetahuan dasar tersebut.
#membaca itu menyenangkan
#bahagia itu ketika utuh tak lagi satu dan terbelah tak berarti dua.
#evaluasi tahunan Rumbata





Usai belajar dan selesai membaca, atau sekedar melihat-lihat buku di Rumbata (Rumah Baca Kalumata), buku tak lagi rapi seperti sediakala. Meski sudah seringkali dingatkan oleh para pendar, anak-anak tetaplah anak-anak yang harus ekstra sabar untuk menyadari setiap tingkah polah mereka.
Beberapa hal untuk membiasakan meletakan atau merapikan buku pada anak-anak usia rata-rata 4,6,7 hingga10 tahun,Rumbata berupaya menyampaikan pengetahuan tersebut melalui bermain peran dan lain-lain. Dengan bermain peran dan menganggap segala aktifitas adalah dunia bermain, setiap aktivitas terasa tampak menyenangkan. Meskipun butuh waktu yang lama untuk membiasakan disiplin, bertanggung jawab dan bekerja sama, namun kami yakin setiap pengetahuan yang ditanam sejak dini akan menjadi dasar bagi setiap anak untuk masa depan mereka.
Pada awalnya anak-anak dilatih untuk mengambil sebuah atau dua buah buku, setelah melihat isi buku beberapa menit kemudian diminta mengembalikan di tempat semula, sesuai dengan posisi awal. Tak menunggu waktu lama semua anak meletakan buku di tempat semula, namun beberapa anak belum meletakan secara tepat. Permainan tak berhenti sampai di situ. Sebab dari 12 anak hanya 3 yang mampu mengingat judul buku yang baru diambilnya.
Selanjutnya, anak-anak diminta mengambil buku lebih dari dua untuk melihat atau mengidentifikasi judul buku,nama penulis,dan penerbit.
Dengan kemasan bermain, membaca buku diharapkan menjadi aktivitas yang tidak hanya menarik bagi anak tetapi juga keharusan.
Untuk melatih sikap disiplin dan tangggung jawab, anak-anak akan diminta untuk merapikan ruang baca, bagi dua orang yang datang paling belakang.
Berhubung mereka saling berebut jadwal membaca doa belajar dan doa pulang meski telah dijadwalkan, maka anak yang datang paling awal mendapat perioritas membaca doa untuk menggatikan sang pembaca doa yang belum sempat hadir.
Selain kegiatan membaca, Rumbata mulai membiasakan anak-anak mengenal buku melalui judul, penulis, dan penerbit dan cara menemukannya dengan mudah. Beberapa anak yang mulai menikmati sesi ini akan akan mulai bertanya tentang: apa itu penerbit? Apa itu editor dan penyunting?
Dengan pertanyaan sederhana tersebut, anak-anak diajak mengenal buku dan membaca sejak dini.
Mengenalkan anak-anak tentang Penulis, judul, Penerbit, Penyunting/editor dll sangatlah penting, sehingga anak-anak dapat menghargai sebuah buku/karya dengan bekal pengetahuan dasar tersebut.
#membaca itu menyenangkan
#bahagia itu ketika utuh tak lagi satu dan terbelah tak berarti dua.
#evaluasi tahunan Rumbata

Selasa, 31 Juli 2018
Membaca Karya sastra
Membaca” Hujan di Tagalaya, karya Rajif Duchlun” Membaca Halmahera : Sebuah Tafsir Bebas
Oleh : Wiwik Sriwiningsih

Karya sastra lahir dari kegelisah penulis. Tidak terkecuali novel “ Hujan di Tagalaya” yang merupakan karya Rajif Duchlun. Karya sastra yang merupakan miniatur kehidupun sangat dipengaruhi sosiokultur penulisnya. Membaca “Hujan Di Tagalaya” yang selanjutnya di sebut HDT secara utuh, kita akan selalu menemukan pola dasar pada setiap penulisan novel dan cerpen. Yakni dalam menulis novel dan cerpen selalu berangkat dari plot atau karakter. Beberapa hal yang menarik dari HDT adalah bahasa yang mengalir, alur yang menarik sehingga seseorang tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dari sekian unsur instrinsik karya sastra, HDT secara dominan menonjolkan alur dan pesan sekaligus berusaha menonjolkan setting (latar sosial dan latar waktu)
Secara Ekstrinsik, Halmahera Barat digambarkan berdasarkan imaji penulisnya, membaca HDT , kita diajak menyelami berbagai persoalan kompleks Halbar 30 hingga 50 tahun silam, tentang cinta dan sengketa tanah dalam berbagai dalih dan tipu muslihat. HDT berupaya memberi pemahaman kepada kita bagaimana persoalan hidup bisa nampak sederhana atau sesuatu hal yang nampak rumit. Bahkan HDT, berupaya mengingatkan kita akan persoalan serupa yang menimpa seluruh Halmahera bahkan Indonesia.
Mengangkat latar sosial Halmahera Barat masih menjadi sesuatu yang ’’istimewa’’ dalam sebuah novel, karena jarang dilakukan. Sebuah novel yang merupakan bangunan dari unsur intrinsik dan ekstriksik memaksa kita melihat dari berbagi sisi. Secara bebas, HDT memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pembaca untuk menafsir pesan yang terdapat pada karya sastra. Dalam konteks amanat, HDT menarik untuk dikaji lebih mendalam, ketika menampilkan tokoh sentral yang kemudian mengarahkan pada pembaca untuk menemukan pesan tertentu, sekaligus penggunaan beberapa idiom lokal, sapaan para tokoh, turut mengentalkan latar sosial.
“APRIL, 1964. Halmahera, Tagalaya. Ini anak ketiga yang gagal menjadi besar...’’(hal 1)
“Dua buldoser membabat hutan. Pepohonan kelapa, cengkih dan pala ditebang rata tanah. Orang-orang hanya bisa menyaksikan pekerja-pekerja perusahan itu mengobok-obok lahan perkebunan mereka. Baba, Mamat, dan Odong dari kejauhan hanya bisa memperhatikan mereka dengan dada sesak...”(hal 49)
“gerobak sapi pulang-pergi melewati jalan bertanah. Senja itu pemuda-pemuda Tuada senang menghabiskan waktu di lapangan bola.... hanya ada beberapa lelaki di desa tetangga yang meminum tuak di batas kampung dan yang lainya memetik senar gitar..”(hal 51)
“itu biasa, bung. Fenomena masuknya perusahaanmemang tak jauh dari intrik dan fitnah. Bahkan di daerah lainantar keluarga saling membunuh hanya gara-gara beda pandangan tentang masuknya perusahaan. Ini memang kejahatan terstruktur. Investor adalah jejaring yang rapi...”(hal 68)
Beberapa kutipan di atas, memang belum menyiratkan sacara utuh pesan maupun latar sosial, namun secara sederhana,kepiwaian penulis, HDT mengingat kita akan persoalan serupa, yakni persoalan, pembangunan, tambanga, investor asing dan lain-lain. Pada banyak novel dan cerpen, amanat sebuah cerita biasanya dilekatkan pada tokoh sentral yang protagonis namun hal ini tidak terjadi pada HDT. Dalam penulisan karya sastra, Beberapa kemungkinan bisa terjadi, bagi yang “bernafsu” mengejar intrinsik bisa jadi mengabaikan ekstrensik. Kemudian ketika kita sedikit cermat, HDT berupaya keras mengejar tema,penokohan, dan setting dalam kemasan yang diutuhkan.

Membaca karya sastra adalah sebentuk Apresiasi.
Oleh : Wiwik Sriwiningsih

Karya sastra lahir dari kegelisah penulis. Tidak terkecuali novel “ Hujan di Tagalaya” yang merupakan karya Rajif Duchlun. Karya sastra yang merupakan miniatur kehidupun sangat dipengaruhi sosiokultur penulisnya. Membaca “Hujan Di Tagalaya” yang selanjutnya di sebut HDT secara utuh, kita akan selalu menemukan pola dasar pada setiap penulisan novel dan cerpen. Yakni dalam menulis novel dan cerpen selalu berangkat dari plot atau karakter. Beberapa hal yang menarik dari HDT adalah bahasa yang mengalir, alur yang menarik sehingga seseorang tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dari sekian unsur instrinsik karya sastra, HDT secara dominan menonjolkan alur dan pesan sekaligus berusaha menonjolkan setting (latar sosial dan latar waktu)
Secara Ekstrinsik, Halmahera Barat digambarkan berdasarkan imaji penulisnya, membaca HDT , kita diajak menyelami berbagai persoalan kompleks Halbar 30 hingga 50 tahun silam, tentang cinta dan sengketa tanah dalam berbagai dalih dan tipu muslihat. HDT berupaya memberi pemahaman kepada kita bagaimana persoalan hidup bisa nampak sederhana atau sesuatu hal yang nampak rumit. Bahkan HDT, berupaya mengingatkan kita akan persoalan serupa yang menimpa seluruh Halmahera bahkan Indonesia.
Mengangkat latar sosial Halmahera Barat masih menjadi sesuatu yang ’’istimewa’’ dalam sebuah novel, karena jarang dilakukan. Sebuah novel yang merupakan bangunan dari unsur intrinsik dan ekstriksik memaksa kita melihat dari berbagi sisi. Secara bebas, HDT memberi ruang yang seluas-luasnya bagi pembaca untuk menafsir pesan yang terdapat pada karya sastra. Dalam konteks amanat, HDT menarik untuk dikaji lebih mendalam, ketika menampilkan tokoh sentral yang kemudian mengarahkan pada pembaca untuk menemukan pesan tertentu, sekaligus penggunaan beberapa idiom lokal, sapaan para tokoh, turut mengentalkan latar sosial.
“APRIL, 1964. Halmahera, Tagalaya. Ini anak ketiga yang gagal menjadi besar...’’(hal 1)
“Dua buldoser membabat hutan. Pepohonan kelapa, cengkih dan pala ditebang rata tanah. Orang-orang hanya bisa menyaksikan pekerja-pekerja perusahan itu mengobok-obok lahan perkebunan mereka. Baba, Mamat, dan Odong dari kejauhan hanya bisa memperhatikan mereka dengan dada sesak...”(hal 49)
“gerobak sapi pulang-pergi melewati jalan bertanah. Senja itu pemuda-pemuda Tuada senang menghabiskan waktu di lapangan bola.... hanya ada beberapa lelaki di desa tetangga yang meminum tuak di batas kampung dan yang lainya memetik senar gitar..”(hal 51)
“itu biasa, bung. Fenomena masuknya perusahaanmemang tak jauh dari intrik dan fitnah. Bahkan di daerah lainantar keluarga saling membunuh hanya gara-gara beda pandangan tentang masuknya perusahaan. Ini memang kejahatan terstruktur. Investor adalah jejaring yang rapi...”(hal 68)
Beberapa kutipan di atas, memang belum menyiratkan sacara utuh pesan maupun latar sosial, namun secara sederhana,kepiwaian penulis, HDT mengingat kita akan persoalan serupa, yakni persoalan, pembangunan, tambanga, investor asing dan lain-lain. Pada banyak novel dan cerpen, amanat sebuah cerita biasanya dilekatkan pada tokoh sentral yang protagonis namun hal ini tidak terjadi pada HDT. Dalam penulisan karya sastra, Beberapa kemungkinan bisa terjadi, bagi yang “bernafsu” mengejar intrinsik bisa jadi mengabaikan ekstrensik. Kemudian ketika kita sedikit cermat, HDT berupaya keras mengejar tema,penokohan, dan setting dalam kemasan yang diutuhkan.

Membaca karya sastra adalah sebentuk Apresiasi.

Langganan:
Postingan (Atom)