Senin, 29 Agustus 2016

Generasi Leger olehWiwik Sriwiningsih

Rasanya sudah lama sekali saya tidak duduk bersama-sama dengan kawan-kawan di Leger, meskipun sebelumnya saya juga hanya sesekali duduk di leger, namun kebiasaan itu sadah sangat lama saya tinggalkan. Mungkin bagi tema-teman yang bukan berasal dari Maluku Utara, kata leger terdengar asing dan tak biasa. Namun tidak demikian halnya bagi anak muda di Maluku Utara. Meraka sangat akrab dengan istilah leger.
Leger adalah sebuah tempat nongkrong para kaum muda, yang kebanyakan adalah kaum cowok namun ada juga kaum cewek tapi jumlahnya lebih kecil. Leger biasanya berada pada perempatan jalan yang sengaja dibangun oleh kaum muda untuk berkumpul dan mengobrolkan apa saja. Di Maluku Utara khususnya Ternate, hampir setiap kampung/kelurahan memiliki leger bahkan bisa dibilang setiap RW atau RT memiliki sebuah leger.
Julukan anak leger biasanya disematkan pada anak muda yang sering nonkrong di leger. Bagi saya, leger sebenarnya sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melakukan obrolan dengan kawan-kawan. Saya berpendapat demikian karena beberapa alasan. Pertama, leger biasanya dibangun bersama-sama (gotong royong) oleh warga setempat khususnya pemuda dengan tujuan sebagai tempat duduk atau tempat istirahat sambil mengobrolkan apa saja. Kedua, leger adalah tempat terbuka yang memungkinkan siapa saja untuk melakukan aktivitas pada malam maupun siang hari tanpa dipungut biaya, sebab leger adalah milik bersama. Ketiga, dengan adanya leger memungkin para kaum muda lebih sering bertemu untuk membicarakan ide-ide kreatif mereka.
Selain ketiga hal tersebut, leger sebenarnya juga berfungsi sebagai pos kamling bagi warga setempat, sebab beberapa leger terlihat masih beraktivitas hingga larut malam bahkan ada yang sampai pagi. Setahu saya hanya para hansip yang tidak tidur semalaman demi menjaga keamanan warga. Oleh karena itu, para pemuda leger sebenarnya telah bertindak sebagai penjaga keamanan yang bertugas dengan sukarela (tanpa beban atau embel-embel kewajiban warga negara).
Beberapa aktifitas yang sering saya jumpai di setiap leger adalah para pemuda seringkali mengobrolkan apasaja, mulai masalah remeh-remeh hingga masalah serius seperti perbincangan politik dan seni. Tentu saja terkait mutu sebuah obrolan sangat tergantung siapa saja yang terlibat dalam obrolan tersebut. Sekali lagi, itulah menariknya pemuda leger, di leger itulah siapa saja bisa mengobrolkan apasaja tanpa takut salah ataupun merasa bersalah. Dalam sebuah obrolan di leger segalanya mengalir begitu saja. Obrolan bisa saja dimulai dari si A baru putus dengan si C, isteri G berselingkuh dengan N, atau harga cabe lebih mahal dari harga daging, namun akhir dari kisah tersebut, bisa jadi : siapakah calon gubernur yang akan anda pilih atau mengapa biaya pendidikan semakin mahal.
Namun akibat ulah sebagian pemuda leger, yang memiliki kebiasaan meneguk minuman keras (miras—mabuk) dan cenderung bertindak anarkis, konotasi anak leger terdengar demikian negatif. Padahal tidak semua anak leger suka bertindak anarkis dan pembuat onar. Di beberapa leger masih sering saya jumpai sekelompok pemuda yang ngobrol sambil bergantian memainkan gitar dan menyanyikan lagu hingga tengah malam, dan sorenya membuat setencil dan street Art atau menggelar lomba bola volley dan bola kaki antar kelurahan. Namun semua itu tak cukup membuat sebagian masyarakat melihat dengan kacamata baru. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi adalah menjadi anak leger bukanlah hal mudah, sebab norma sosial terlanjur mencetak miring tentang pemuda baik, pemuda santun harapan bangsa tentunya bukanlah pemuda yang suka keluyuran tengah malam. Namun bagi beberapa anak leger, mereka sangat nyaman dengan kehidupan mereka. Sebab hidup mereka tidak didoktrin dengan seperangkat aturan.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah leger telah berubah fungsi menjadi pangkalan ojek. Sehingga istilah leger pun sudah agak jarang digunakan. Saat ada dua atau tiga pemuda bercakap-cakap, saat ini mereka lebih sering meggunakan istilah pangkalan dibandingkan leger.
Mendengar istilah pangkalan, saya seperti berada di sebuah pertempuran yang dipimpin oleh seorang panglima besar yang siap menggempur pangkalan-pangkalan lain. Tapi mungkin itu hanya kecemasan saya, karena beberapa tahun terkahir ini pemuda-pemuda yang bertetangga (seperti pemuda Mangga Dua dan pemuda Toboko—Ternate) sering terlibat bakuhantam dan sulit didamaikan. Begitu pula dengan pemuda-pemuda di kelurahan lain.
Mudah-mudahan peristiwa tersebut tidak berkaitan dengan leger yang berubah nama menjadi pangkalan. Meskipun istilah pangkalan lebih bermakna: tempat (pelabuhan, lapangan, dsb ) yang dijadikan tumpuan untuk menyerang musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar