Senin, 16 September 2013
TAMAN RESMICKTI (cerita yang sangat membosankan, di Saat Bosan)
Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, seringkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Namun sadar atau tidak sisi insani selalu berjuang setengah mati untuk memahami segala yang terjadi. Mengapa kita berlaku begini—begitu dan seterusnya.
…Aku ingin duduk di sebuah bangku taman panjang. Seharian. Dari pagi hingga petang. Berdiam diri berharap tak ada yang mengenalku. Tak ada yang menyapaku. Tapi rasanya tidak mungkin. Taman itu setiap hari kukunjungi. Aku duduk berjam-jam. Sesekali berbicara jika kebetulan ada yang menyapa. Diam lagi. Begitu seterusnya. Setiap hari ada saja yang menyapaku. Mengajakku ngobrol yang tak kuminati. Aku hanya ingin duduk menikmati yang kulihat. Mendengar segala suara. Aku pulang setelahnya. Kini aku tak mendengar apa-apa. Aku tak melihat apa-apa. Semua yang kulihat. Aku langsung lupa setelahnya. Aku lupa yang aku ucapkan. Aku lupa yang kudengar. Aku hanya ingat aku dari rumah menuju taman…
Entah kapan kukunjungi taman itu. Taman hijau serupa pulau. Serupa gunung. Kadang berkabut kadang berawan. Kadang banyak orang lalu lalang. Dua remaja duduk tak lama kemudian pulang. Sepasang lansia duduk di bangku dekatku. Menatapku penuh kasih seolah aku adalah cucunya—Putri dari anaknya.
Aku masih di taman. Dengan tas Ransel hitam sebotol air mineral. Nampaknya semua orang yang ada di taman tahu apa yang aku lakukan setelah sampai di bangku taman. Duduk hingga petang membaca tulisan tentang diri yang setengah mesti. Aku melanjutkan membaca.
Aku bertemu fotografer. Dia memotret kupu-kupu yang sedang berkejaran. Bajunya warna coklat pekat berbau keringat. Ia mengajakku berbicara. Menanyakan namaku. Aku tak menjawab. Ia menyebut namanya. Kemudian menuliskan di buku yang kupegang. Resmickti. Aku bilang namanya aneh. Banyak huruf mati. R-e-s-m-i-c-k-t-i. Aku bilang dia seret rejeki. Tak bahagia kecuali sudah tua. Dia tertawa. Dia bilang aku lucu. Dia bilang aku perempuan taman. Rupanya Oma dan Opa yang duduk di bangku belakang mendengar obrolanku. Aku bingung. Oma memarahi Resmickti. Menyuruhnya pergi.
Hari seperti selalu pagi. Kadang berkabut kadang berawan. Aku melihat sepasang lansia di taman. Mereka sangat suka saat kupanggil Opa dan Oma. Mereka tersenyum padaku. Aku bahagia. Ada seorang fotografer namanya Resmickti. Ia memotret Oma, Opa dan aku. Ia memberikan aku sebotol air mineral dingin. Bajunya coklat bau keringat. Dia bertanya berapa usiaku. Aku tersenyum. Aku bilang aku tidak tahu. Oma marah pada fotografer itu. Oma menyuruhnya pergi. Fotografer itu ingin memperlihatkan sebuah foto. Katanya karya terhebatnya. Tapi karena Oma melarangnya. Ia pergi. Aneh. Dia seperti hendak menangis. Padahal aku ingin lihat karya terhebatnya.
Aku duduk di bangku panjang. Lima kupu terbang bersama-sama. Hinggap pada sebatang bunga ungu bintik-bintik coklat. Aku paling suka bunga itu. Aku Tanya pada seorang perempuan tua. Perempuan itu bilang. Panggil aku Oma. Itu namanya bunga anggrek. Oma menerangkan semua jenis bunga. Aku mencatatnya. Kertas. Mawar. Kamboja. Cempaka. Rose. Melati. Kaktus. Hebras. Lili….. Oma bicara agak cepat kepalaku pusing.
Perempuan tua itu bilang, ini masih terlalu pagi. Bangku yang kududuki basah embun. Ia mengajak jalan-jalan mengelilingi taman. Suami perempuan itu juga ikut. Ia ingin membawakan tas ranselku. Aku bilang tidak usah terimakasih. Bapak sudah tua biar aku bawa sendiri. Suami perempuan itu bilang panggil aku Opa. Aku memanggilnya Opa. Ia sangat baik. Tapi aku ingin sendiri. Aku bilang pada Oma dan Opa aku ingin sendiri. Oma duduk agak menjauh setelah mengantarku duduk di sebuah bangku taman panjang. Oma dan Opa duduk di belakang bangku yang aku duduki kira-kira jarak lima meter. Oma terus melihat ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Aku berjalan menuju ke arahnya. Aku mendekat ke arahnya. Oma menghapus airmatanya. Aku bertanya kenapa menangis. Oma menjawab kalau ia tidak menangis. Oma menerima telepon. Oma berbicara dengan seseorang di telepon. Tidak lama kemudian seorang perempuan datang. Aku mengulurkan tangan hendak menyalaminya. Perempuan itu memeluku dan menangis. Aku Tanya pada Oma, kenapa perempuan itu menangis. Oma bilang perempuan itu anak Oma. Aku agak kurang suka dengan anak Oma. Orangnya aneh. Aku baru kenal. Aku mengajaknya berkenalan. Ia hanya menatap tanganku. Kemudian ia menangis. Dan memelukku. Aku ingin pulang ke rumah.
Di taman ini aku merasa asing. Tak ada yang kukenal. Ada yang datang beramai-ramai. Berelima. Berempat. Berdua. Aku datang seorang diri. Aku tak berteman dengan siapa pun. Di taman banyak kupu berterbangan. Rumput hijau. pohon ribun berbuah serupa apel. Rasanya asam sekali. Aku menggigit dan langsung melepaskan gigitan itu. Seorang perempuan tertawa melihat kelakuanku. Ia mendekatiku menawarkan minuman yang dipeganganya. Aku bilang aku selalu bawa minuman. Sebotol air mineral. Ia menawariku roti dua jenis. Sebungkus bertulis cokelat sebungkus lagi kenari. Mungkin perempuan itu pikir aku lapar. Aku menatapnya. Aku bertanya. Apa aku mengenalmu. Perempuan terkesiap, ia balik bertanya. Apa kau ingat aku. Aku menggeleng. Perempuan itu seperti kecewa dan hampir menangis. Padahal aku tak suka melihat orang menangis.
Aku keliling taman. Seorang perempuan hampir paruh baya selalu ada di dekatku. Ia seperti sengaja mengikutiku. Aku memberanikan diri bertanya namannya. Ia tersenyum. Ia bilang terserah aku. Aku boleh memanggilnya apa saja. Aku balas tersenyum. Kemudian tertawa agak keras. Perempuan itu menatapku hampir menangis. Aku telah membuatnya tersinggung. Kenapa menangis? Aku bertanya lalu minta maaf. Ia masih menangis. Aku tak tahu bagaiman cara menenangkannya. Untung saja ada seseorang yang ternyata ibu perempuan itu. Mengajaknya menjauh dariku. Saat masih berjarak dua meter aku bertanya. Pada perempuan tua itu. Apa aku mengenal…Oma? Dengan tegas Oma menjawab tidak. Lalu membawa putrinya pergi dariku. Aku kembali duduk di bangku. Aku memang tak kenal siapa pun. Bahkan perempuan tua itu tak mengenalku. Siapa yang mengenalku. Boleh menamaiku apa saja…
Aku baru tiba di taman. Ada sebuah bangku panjang. Hari ini orang sangat ramai. Dua orang perempuan berpakain serba putih sedang ngobrol di bangku sebelah. Mereka sangat serius. Tapi aku tak tahu apa yang dibicarakan. Sesekali mata mereka mengamatiku. Aku merasa risih. Sebab tidak hanya mereka berdua yang memperhatikanku. Ada sepasang lansia juga duduk tak jauh di sekitarku. Kadang mataku bertemu dengan salah satu dari mereka. Aku tersenyum. Begitu pula mereka. Apa aku mengenal mereka. Ah, rasanya tidak. Buktinya mereka duduk di bangku sebelah. Aku ingin sekali bertanya pada mereka. Apa mereka mengenalku.
Di bawah pohon rimbun berbuah asam. Ada lelaki berbaju coklat. Kumisnya tipis. Mungkin ia tukang foto. Di tangannya ada kamera. Aku melihatnya. Ia tersenyum melambaikan tangan. Aku balas tersenyum. Mudah-mudahan semua orang yang ada di taman tak tahu kalau aku menulis mereka. Tapi lelaki itu sepertinya tahu. Ia mendekat. Aku menutup bukuku. Setelah itu ia pergi. Sepertinya ia tahu aku tidak nyaman. Ia kembali duduk di bawah pohon rimbun. Aku menuju arahnya. Aku memberanikan diri bertanya. Apa aku mengenalmu? Lelaki itu menantapku terkejut. Aku mengulangi kalimat Tanya lagi. Apa kamu mengenalku…sunyi tak ada jawaban.
Aku baru tiba di taman. Membuka tas ransel mengambil sebotol air mineral. Ada sebuah amplop coklat tergeletak di bangku taman. Bertulis untuk Resmickti. Aku membuka amplop tak bersegel. Aku memasukan tanganku ke dalam amplop coklat. Ada tiga lembar foto. Di setiap foto itu ada aku. Foto pertama, aku berbaju krem dengan celana jeans coklat pekat bersama seorang lelaki berbaju coklat pekat juga. Tangan lelaki itu berteger di pundakku. Foto kedua adalah fotoku juga. Aku di tengah diapit seorang lelaki dan seorang perempuan cantik. Dibalik foto itu bertulis Resmickti bersama Ayah bunda. Lalu kulihat foto yang ketiga. Aku di apit perempuan yang mirip dengan perempuan di foto yang kedua. Tapi ini sudah tua. Di belakang foto bertulis Resmickti bersama Opa dan Oma.
Bangku taman lembab dan basah. Sepertinya baru habis hujan deras. Di bangku panjang itu tertulis Resmickti. Aku berpikir. Mungkin itu nama pembuat bangku. Atau bisa jadi itu nama sebuah merek perabot rumah. Atau mungkin nama orang yang biasa duduk di bangku itu. Aku belum ingin duduk. Aku masih ingin berkeliling. Secara tak sengaja aku menghitung jumlah bangku yang ada di taman. Di taman ada lebih dari 20 bangku. Semua bangku itu ukuranya sama. Tapi hanya satu bangku yang bertuliskan Resmickti. Atau jangan-jangan Resmickti nama orang. Kepalaku sakit. Airmataku keluar. Hangat meleleh basah…
Di sebuah taman ada bangku bertulis Resmickti. Bangku itu tak ada yang menduduki. Semua yang lewat hanya melirik sekilas ke arah bangku. Ke arahku lalu berpaling muka. Aku penasaran. Kenapa tak ada yang duduk di bangku bertulis Resmickti. Aku duduk di bangku bertulis dan memulai menulis. Hari ini aku melihat wajah-wajah di taman. Seolah mereka tak asing bagiku. Aku merasa pernah bertemu mereka. Wajah itu sangat familiar. Wajah orang tua yang kupanggil Oma dan Opa. Wajah lelaki muda berbaju coklat. Wajah perempuan cantik bermata indah. Aku tak tahu bagaiman cara melukis matanya. Aku hanya tahu aku suka menatap matanya. Matanya jernih. Ia menatapku dan tersenyum. Sikapnya keibuan. Umurnya dua kali umurku. Aku ingin memanggilnya kakak. Tapi ia lebih suka dipanggil ibu. Hari ini aku ngobrol cukup lama dengan perempuan bermata indah itu. Aku bertanya banyak sekali. Dia bilang ia sudah menikah. Dan melahirkan seorang putri cantik. Aku bertanya di mana anaknya. Perempuan itu menjawab lama sekali. Namun akhirnya ia menjawab anaknya di rumah. Anaknya seumur denganku. Aku bilang aku ingin berkenalan dengan anaknya. Ia memelukku seolah aku adik atau mungkin anaknya. Hari ini aku bahagia. Tapi badanku cukup lelah. Aku mau pulang. Aku berpamitan. Aku bilang aku ingin memeluknya. Perempuan itu terharu lalu memeluku. Aneh. Ia menangis. Apa aku menyedihkan, sehingg ibu harus menangis saat memeluku…
Aku haus. Air mineral yang kubawa habis. Kebetulan ada seorang lelaki berkaos dan berbaju coklat membawa sebotol air mineral yang masih utuh. Aku meminta padanya. Aku sangat haus. Aku tak punya uang. Untung ia baik. Ia memberiku Cuma-Cuma. Di taman ini hanya lelaki berbaju coklat yang aku kenal. Namannya Resmickti. Aku ingin bilang dia orang baik. Memberiku sebotol air mineral. Ia bertanya padaku. Jika ada orang lain yang membawa air mineral lagi untukku, siapa yang lebih baik ? dia atau orang itu. Aku tak menemukan jawaban. Aku sedih tak bisa menjawab pertanyaanya. Dia bilang hanya bercanda. Aku bertanya padanya di mana tempat tinggalnya. Dia bilang rumahnya di belakang taman tak jauh dari sini. Ia bertanya di mana rumahku. Aku bilang, kalau aku mau pulang aku duduk di dekat pohon rimbun. Ada mobil yang akan mengantarku ke rumah dan ke taman. Tapi aku belum ingin pulang sekarang. Lelaki itu mengangguk-angguk…
Seorang perempuan tampak baik. Ia menawariku dua buah roti. Aku mengambilnya sebuah. Aku bilang dia baik sekali. Ia bilang, panggil aku bunda. Aku tertawa. Dia juga tertawa. Aku bilang dia masih muda. Aku lebih suka memanggilnya kakak. Sekali lagi dia bilang panggil aku bunda. Akhirnya aku memanggilnya bunda. Bunda mengajakku keliling taman. Ia bertanya padaku. Sejak kapan aku suka pergi ke taman. Aku menjawab setiap hari. Bunda tersenyum. Aku menatap mata bunda. Mata bunda jernih sekali. Pada mata bunda aku bisa melihat senyumku. Tiba-tiba air matanya meleleh. Jangan menatapku nak…jangan. Bunda memintaku berhenti menatap matanya.
Setiba di taman aku bertemu tukang sapu. Aku menyebutnya tukang sapu karena di tangannya ada sapu. Aku juga bertemu tukang foto. Ia selalu memegang kamera. Kadang di kalungkan di lehernya. Dua manusia yang kutemui pagi ini sangat ramah. Mereka menatap iba padaku. Aku paling tak suka tatapan itu. Aku ingin menghindari mereka. Aku berjalan menuju sebuah bangku taman panjang. Bangku bertulis Resmickti. Seorang perempuan duduk menanti. Ia tersenyum padaku. Aku membalas alakadarnya. Mataku beradu dengan matanya. Matanya sangat indah. Aku ingin terus menatapnya. Di matanya kulihat diriku di sebuah taman. Serupa pulau. Serupa gunung. Kadang berkabut kadang berawan. Tapi mungkin bukan diriku…
Kupetik buah asam berdaun rimbun. Kugigit sekali lalu kubuang. Tukang taman memungut buah yang kupetik dan kubuang. Ia berlalu seraya memperingatkanku. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Aku mengulangi ucapannya. Lebih dari tiga kali. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang. Buah asam bukan dipetik untuk dibuang…
Intermezo
…Aku ingin duduk di sebuah bangku taman panjang. Seharian. Dari pagi hingga petang. Berdiam diri berharap tak ada yang mengenalku. Tak ada yang menyapaku. Tapi rasanya tidak mungkin. Taman itu setiap hari kukunjungi. Aku duduk berjam-jam. Sesekali berbicara jika kebetulan ada yang menyapa. Diam lagi. Begitu seterusnya. Setiap hari ada saja yang menyapaku. Mengajakku ngobrol yang tak kuminati. Aku hanya ingin duduk menikmati yang kulihat. Mendengar segala suara. Aku pulang setelahnya. Kini aku tak mendengar apa-apa. Aku tak melihat apa-apa. Semua yang kulihat. Aku langsung lupa setelahnya. Aku lupa yang aku ucapkan. Aku lupa apa yang kudengar. Aku hanya ingat aku dari rumah menuju taman…
Tas ranselku berisi penuh. Dua buku tulis tebal yang masih kosong. Tiga buah pena. Satu botol air mineral yang masih utuh. Dua buah kue bertulis rasa coklat dan rasa kenari sebesar kepalan tangan lelaki dewasa. Tapi bentuknya tak mirip kepalan tangan. Aku hanya mengira-ngira. Ada alat perekam suara. Ada kamera. Pantas rasanya berat. Di antara sekian isi ransel aku mengambil sebuah buku, pena kemudian Air mineral yang langsung kubuka segelnya dan kuminum nyaris setengahnya. Aku buka buku yang kupegang. Pada lembar pertama telah tertulis. Entah tulisan siapa. Tulisan bersambung. Aku masih bisa membaca dengan jelas : Tulis semua yang kau lihat dan dengar hari ini. Kalimat itu seperti memerintah. Aku mulai menulis. Tentang Ranselku dan segala isinya.
Tulis semua yang kau lihat dan dengar hari ini—kalimat perintah. Aku tak ubahnya robot. Kalimat itu seperti remot. Mataku menatap sebuah pohon berdaun rimbun. Menatap dari bawah ke atas. Akar yang menyembul—Batang—cabang—ranting–daun—buah—pucuk. Mataku beralih. Dua perempuan berpakaian putih. Berbicara sesama mereka. Matanya siaga mengawasiku. Sepasang Oma-Opa yang tak sedetik pun mengalihkan pandang dari sebuah bangku panjang. Bangku yang kududuki. Aku benar-benar ingin tahu. Apakah sepasang lansia di bangku seberang sedang mengamatiku atau sedang mengamati bangku yang kududuki. Aku memilih berjalan memutari taman sekaligus pembuktian pada keraguan. Masihkah Oma memperhatikan bangku yang aku duduki atau memperhatikan aku meski tak lagi duduk di bangku. Ternyata dugaanku salah. Kini Oma tak memerhatikan aku maupun bangku. Hanya dua perempuan berbaju serba putih seperti sengaja mengikutiku. Aku menatapnya sinis. Tapi dua perempuan itu tersenyum padaku. Menyiratkan kesan—kami tidak berbahaya. Kulihat wajah mereka amat kelelahan. Seperti tak tidur semalam. Seragam putih yang mereka kenakan menambah kesan lelah dan pucat wajah mereka—aku menyebutnya seragam karena baju yang digunakan keduanya sama.
Vinaamalia
Pada pak sopir yang mengantarku ke taman aku mengucapkan terimaksih. Pak sopir mengangguk sopan. Hari ini aku berkenalan dengan seorang perempuan. Umurnya kurang lebih sama denganku. Ia pandai sekali bercerita. Aku tertarik mendengar kisahnya. Namanya Vinaamalia. Hari ini kutulis tentang dia : Jarum jam seringkali berhenti berdetak saat bola matanya berhenti berputar dan fokus pada satu titik : relik, unik, asing, tak biasa. Dia jatuh cinta lagi. Bahkan dengan sebuah pena pun dia jatuh cinta. Cinta asam manis yang dirasai sendiri. Konon ia anak hampir bungsu. Dia lahir dengan urutan genap. Tanggal genap. Bulan genap. Tahun ganjil. Mungkin tahun ganjil itulah yang membuat otaknya agak usil. Melihat sesuatu yang tak biasa. Selebihnya dia bijak, perasa, mudah tersentuh, tapi kerap juga malu dan layu. Sebenarnya ia memang pemalu dan tertutup. Tapi tidak lagi kini. Mungkin karena usia. Buah pengalaman yang bergelantungan telah dipetiknya. Dirasai, manis, asam, sepat juga getirnya. Kini rasa itu menjelma bingkis yang manis. Satu-satunya manusia yang dikasihi adalah ayahnya kini. Satu ingin ayahnya yang belum ia tunaikan. Keinginan yang juga ia ingini.Tapi sampai itu tak kunjung akhir.
Aku membaca berkali-kali catatan tentang Vinaamalia. Tapi itu bukan untuk Vinaamalia. Itu hanya karakter salah satu tokoh film yang baru kutonton bersama pak sopir. Aku berharap bisa bertemu lagi dengan dia. Tapi rasanya tidak mungkin. ia meninggalkan pesan pendek : lekas pulang ke rumah. Jangan terlalu lama duduk di taman…
Aku berkenalan dengan Vinaamalia. Salah seorang pengunjung taman. Ia bersama seorang teman. Vinaamalia memperkenalkan temannya padaku dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku hanya mencatatnya dalam buku : ia tak seramah yang terlihat. Kalimatnya nyaris mantra kadang doa yang tak sampai pada telinga para dewa. Karena ia bukan pemuja. Ia pengingat yang luar biasa. Sikap manjanya sedikit berlebihan. Ia paling cepat iba sekaligus tak mudah percaya dengan segala hal yang baru dilihatnya. Ia menganggumi nuraninya sendiri. Ia suka boneka barbie, polos lucu, cantik bagai bidadari. Tapi bidadari dalam imajinasinya adalah sesuatu yang indah. Asyik juga membahagiakan. Kini ia mulai asyik. Aku berhenti menulis.
Seseorang mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya. Dia bilang dia teman Vinaamalia. Aku bilang aku tidak kenal Vinaamalia. Dia satu-satunya orang yang kukenal. Ia tertawa. Tak lama kemudian Vinaamalia datang bersama dua orang teman. Ia memperkenalkan dua temannya dengan gaya yang tak kumengerti. Aku mengingat kalimat yang ia ucapkan. Pertama : masih lelaki dan merasa lelaki bukan karena telah beristri dan berbuah hati. Tubuhnya bagai panggung. Setiap langkah dan geraknya adalah adegan pertunjukan. Kritis otaknya. Bidik imjinasinya selalu mengena. Bahkan ikan di kolam mengerti bahasa dan siulan magisnya. Ia menulis tentang diri sendiri di seantero pekarangan rumahnya. Saat kawan lama bertandang ke rumah tak perlu bertanya kabarnya. Setiap sudut rumahnya menjawab segala tanya. Mungkin karena itulah ia hemat suara.
Kedua : Lelaki klimis. Memiliki tanda lahir di seputar wajahnya. Rambutnya selalu rapi tak seperti teman lainya. Dia paling rapi. Mungkin karena telah beristeri dan beranak. Ia perlu menjadi contoh. Menjadi panutan minimal dua buah hatinya. Bicaranya biasa. Teramat biasa. Tapi ia adalah orang paling bisa memahamkan dirinya dengan segala yang baru. Terkadang ia merasa tak perlu menjelas-jelaskan untuk membuat orang mengerti, toh ia pikir otak akan mengerti dengan sendiri tanpa campur tangannya. Jika sudah begitu ia menyorot dengan mata, bersekutu dengan bibir, untuk berkolaborasi membuat cengiran iseng atau bisa jadi semacam masa bodoh yang diucapkan dalam diam. Sebenarnya ia sangat ramah. Meskipun ia keras, cukup keras untuk berkata tidak. Ia lebih sering mengalah. Tapi ia bukan jenis manusia yang pasrah, dia hanya mengalah menunggu jeda.
Setelah menjelaskan semua itu Vinaamalia tertawa pada dua teman yang dikenalkannya. Ia bilang ia hanya bercanda. Ia tidak sedang memperkenalkan dua temanya. Ia sedang bercerita tentang tokoh film yang baru di tontonnya. Aku bertanya pada Vinaamalia, kapan aku bisa menonton film itu ?
Vinaamalia mengajakku keliling taman. Padahal aku baru saja mengenalnya. Ia ingin menunjukan sesuatu padaku. Aku menolak ajakan itu. Aku bilang hari ini aku lelah sekali. Ia mengajak sekaligus memaksa. Itu lukisanku yang pertama kau harus melihat. Ajak Vinaamalia setengah menarik tanganku—memaksa. Pada sebuah tempat. Tak jauh dari taman. Mungkin juga sebenarnya masih di taman. Aku masuk pada sebuah ruang. Vinaamalia bilang ini sebuah studio sekaligus galeri lukis. Aku tak percaya ucapanya. Di sini aku hanya melihat satu buah lukisan yang belum selesai. Diam-diam aku menulis tentang lukisan itu : lelehan cat yang bertabrakan. Guratan-guratan tajam. Lukisanya terasa lebih panjang dari bidang panjang yang dibentangkannya.
Vinaamalia mengajakku di ruang sebelah. Di ruang itu juga hanya ada satu lukisan. Nampaknya sudah selesai. Aku menulis lagi : sapuan kuasnya terasa spontan. Aku tak melanjutkan…aku bukan perupa atau pelukis. Aku juga bukan penikmat seni lukis. Aku tak suka mencatat galeri Vinaamlia. Aku ingin keluar. Aku ingin pulang. Kepalaku sakit. Tiba-tiba lampu di galeri padam…
Kehidupan di taman hari ini sangat tenang. Udaranya sejuk. Aku bisa merasakan oksigen keluar masuk dari hidung dan mulut. Menutup mata. Merasakan damai duduk pada kursi. Di taman ini aku masih sendiri. Sesekali kulihat kupu berterbangan. Beberapa pohon berdaun rimbun. Buahnya menyembul keluar mengintip matahari. Aku ingin memetik buah itu. Tapi ada ragu. Antara petik—jangan—buang. Aku tidak jadi memetik hanya memandang. Membayangkan rasa buah hijau muda hampir kuning. Air liurku terkumpul membenam lidah kemudian tertelan bersama seteguk air mineral yang kuminum. Aneh. Aku minum seteguk air mineral rasanya seperti menelan buah dari pohon rimbun di depanku. Padahal air ini aku mengambilnya dari dalam tas ranselku bukan dari bawah pohon.
Aku berkenalan dengan Vinaamalia. perempuan seumuran denganku. Mungkin sedikit lebih tua. Lima atau sepuluh tahun. Aku paling tak bisa menebak umur manusia. Aku hanya mengira-ngira. Wajahnya tebal bantal. Mungkin ia baru bangun tak sempat mandi, hanya gosok gigi dan membasuh muka. Rambutnya tersisir kurang rapi diikat sekenanya. Ia duduk di sampingku. Ia tahu aku sedang memperhatikannya. Ia sama sekali tak merasa risih kuperhatikan seperti itu. Ia membuka tas yang dibawanya. Mengambil sesuatu yang ternyata pemantik dan rokok. Ia menghisap dengan kenikmatan yang tak kumengerti. Menyemburkan asap ke samping kanan karena aku sedang duduk di samping kirinya. Ia menawariku ragu-ragu. Aku hanya menggeleng dengan wajah Heran. Ia tersenyum menatapku. Seolah ingin tahu mengapa aku menolak rokok yang ditawarkan—pemberian pertamanya. Ia tersenyum sendiri. Menertawakan diri sendiri tapi mungkin juga menertawakanku. Aku terbatuk-batuk menghirup asap rokok Vinaamalia. Sekali dua kali. Batukku terus dan terus. Seorang perempuan tua melotot pada Vinaamalia. akhirnya Vinaamalia menyudahi aksi asapnya. Ia lebih dari dua kali berucap maaf. Aku bilang tidak apa-apa. Aku yang terkena asap dengan mudah memaafkan Vinaaamlia. Tapi perempuan tua di sebelah bunga anggrek itu masih menyisakan tatapan marah dan sebal pada Vinaamalia. Dia pasti nenek yang baik pikirku. Aku tersenyum pada nenek dekat anggrek. Senyum perkenalan. Senyum perdamaian—jangan marah pada Vinaamalia.
Kulihat Vinaamalia bercakap-cakap dengan Oma. Vinnaamalia memanggil perempuan itu Oma. Kulihat Oma tak lagi marah pada Vinaamlia. Mereka terlihat sangat Akrab. Vinaamalia tertawa cukup keras. Tertawa bebas seorang perempuan. Tawa merdeka. Aku belum pernah tertawa lepas seperti dia. Aku ingin sekali tertawa seperti itu. Tawa lepas yang melenyapkan ia dari wajah bantal. Mereka bercakap-cakap. Tak lama kemudian datang seorang lelaki berbaju coklat dengan kamera di lehernya. Bersalaman dengan Oma dan Vinaamalia. Mereka bertiga sangat akrab. Aku iri. Aku ingin berkenalan dengan lelaki berbaju Coklat juga Oma. Aku hanya tersenyum dari jarak sekarang. Menulis mereka. Seulas senyum. Seucap kata. Aku jatuh cinta dengan Mereka bertiga.
Vinaamalia merokok lagi. Ia menawari lelaki berbaju coklat. Duduk agak menjauh dari Oma beberapa langkah. Menghindarkan Oma dari Asap mereka. Aku diabaikan. Tak lama kemudian Oma melambaikan tangan. Dengan satu gerakan yang berarti mari berkumpul bersama kami. Aku hanya tersenyum. Menulis lagi gerak tangan Oma. Cara Oma memanggilku sangat akrab. Dengan gerak dan tatap. Tanpa bunyi. Tanpa suara. Serupa konvensi lama yang mungkin juga arbitrer body language.
Vinnamalia seperti tersadar. Ia telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang menurutnya tak boleh diabaikan apalagi dilupakan. Ia menghampiriku. Berkali-kali minta maaf. Aku menghitung permintamaafan Vinaamalia. aku mencatatnya tujuh kali. Aku bilang. Dia sudah tujuh kali minta maaf. Vinaamlia menatapku. Memastikan ucapanku benar-benar aneh dan asing. Aku tersenyum kemudian tertawa mengikuti gaya tertawa yang kudengar tadi. Ah, Vinaamalia minta maaf lagi. Genap delapan kali. Itu standar baik. Semoga Vinaamalia orang baik seperti yang baru kutulis. Setelah menulis demikian. Aku tertawa sendiri. Vinaamalia mempertanyakan tawaku. Aku bilang aku sedang menirukan tawanya…
Aku mencari sesuatu dalam tas ranselku. Aku tak menemukan yang kucari. Aku sedang mencari cermin. Tiba-tiba aku ingin melihat wajahku. Rupa dan wujudku. Di belakang pohon berdaun rimbun ada air. Kolam ikan. Aku segera bergegas menuju kolam. Berdiri tepat di atas—di pinggir—di samping kolam. Menatap bayangku yang bergerak-gerak. Sebuah gerakan serupa ikan. Ikan warna-warni yang tak kutahu namanya. Aku memang tak sedang ingin menikmati ikan. Aku ingin melihat wajahku. Wajah dalam kolam ikan. Wajah yang bergerak-gerak. Wajah penuh beban. Muram. Geram. Kesakitan…
Vinaamalia meneriakan—memanggil sebuah nama. Resmickti. Aku menoleh seolah ia tengah memanggilku. Ia mengajak aku ke galeri. Aku bilang aku sudah mau pulang. Sebenarnya aku belum ingin pulang. Aku hanya ingin menolak ajakan Vinaamalia. Galeri tak jauh dari kolam ikan. Bisa ditempuh tak sampai sepuluh menit dengan berjalan kaki. Akhirnya aku tiba juga di galeri bertulis Vinaamalia. Aku menulis : Ruangan serba hitam. Sebuah lukisan belum selesai. Mungkin tak pernah selesai. Atau sengaja tak diselesaikan. Vinaamalia menyuruhku duduk. Aku duduk tanpa mendebat. Vinaamalia bilang ia ingin melukisku. Aku menolak. Ia tak percaya aku menolak dilukis. Dia bilang aku bercanda. Padahal aku sedang serius. Aku tidak mau dilukis. Aku menuliskan penolakanku dalam buku yang kupegang. Tanpa permisi ia memindahkan buku dari tanganku ke tangannya. Dengan gerakan cepat. Mata yang tajam berkilat-kilat. Keseriusan. Konsentrasi. Tiba-tiba ruangan hening. Diam. Ngeri. Sepi. Hanyut—Vinaamalia melukis seorang gadis berdoa. Dua tangannya merapat ke dada. Terbuka ke atas menghadap langit. Gadis itu nampak tersenyum. Vinaamalia bilang itu aku—Resmickti yang memanjat doa.

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar